Produk Indonesia Masih Butuh Bea Masuk Impor ke AS, Apa Saja?

Kinerja ekspor non-migas ke AS tahun 2019 hanya tumbuh 0,07 persen dibanding tahun 2018.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 27 Feb 2020, 15:15 WIB
Aktifitas kapal ekspor inpor di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,24 miliar . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan, Indonesia masih butuh fasilitas potongan bea masuk impor atau General System of Preference (GSP) ke pasar Amerika Serikat (AS).

Pemberian subsidi itu terancam hilang lantaran Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) baru saja mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju.

Menurut Bhima, Indonesia saat ini masih sangat membutuhkan GSP. Terlebih konteks permintaan ekspor ke AS kini sedang melemah di tengah perang dagang dan mewabahnya virus Corona.

"Ada 3.500 produk yang dapet fasilitas GSP, sehingga kalau GSP ditarik daya saing produk indonesia ke AS bisa turun karena harga jual jauh lebih mahal," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (27/2/2020).

Sebagai contoh, ia memaparkan lemahnya kinerja ekspor produk di luar minyak dan gas (migas) ke Negeri Paman Sam, yang hanya naik dibawah 0,1 persen pada tahun lalu.

"Kinerja ekspor non-migas ke AS tahun 2019 hanya tumbuh 0,07 persen dibanding tahun 2018. Tanpa GSP, kinerja ekspor ke AS diperkirakan akan negatif," tegas dia.

Berdasarkan rincian yang Bhima berikan, banyak jenis produk yang terancam subsidi bea masuk impornya dari AS dicabut. Mulai dari pakaian hingga produk makanan dan minuman.

"Banyak. Ada pakaian jadi, produk dari kulit, kayu, plywood, obat-obatan, rokok, wine, buah dan sayuran, produk perikanan, daging, dan lain-lain," tutur dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ini Alasan AS Keluarkan Indonesia dari Daftar Negara Berkembang

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Sebelumnya, Indonesia disebut sudah tidak termasuk negara berkembang. Keputusan itu bukan dari Bank Dunia, melainkan versi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR).

Keputusan itu selaras dengan keluhan Presiden Donald Trump yang sering kesal karena banyak negara mengaku masih berkembang, sehingga dapat untung dari aturan dagang AS. Misal, terkait aturan minimum subsidi produk ekspor. 

Tak hanya Indonesia, negeri jiran Malaysia, Thailand, India dan Vietnam juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Dan ternyata, negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan China turut menyandang status itu.

Asal muasal mengapa negara tersebut di atas keluar dari deretan negara berkembang versi AS adalah aturan baru dari USTR.

Berdasarkan rilis resmi USTR, Sabtu (22/2/2020), ada tiga aturan mengapa sebuah negara tak lagi masuk kategori berkembang dan tak berhak mendapat perlakuan spesial dari AS. Pertama, pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu. Kedua, share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional.

Pendapatan nasional per kapita Indonesia baru USD 3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk kategori kedua dan ketiga.

Menurut data The Global Economyshare ekspor Indonesia tercatat sudah mencapai 0,91 persen per 2017. Selain itu, Indonesia merupakan anggota G20.

"Perwakilan Dagang AS mempertimbangkan bahwa negara dengan share 0,5 persen atau lebih di dalam perdagangan dunia merupakan negara maju," jelas USTR. "Keanggotaan G20 mengindikasikan bahwa sebuah negara itu maju," lanjut USTR.

Dua faktor itu pun menyebabkan Indonesia dan sejumlah negara lain tak berhak lagi mendapat perlakuan khusus.

Tentunya, "kenaikan" status ini tidak otomatis menjadi pertanda bagus. Pasalnya, para eksportir Indonesia menjadi terdampak negatif karena kehilangan insentif dagang.

2 dari 4 halaman

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya