Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Umum PB HMI yang juga Founder Koaliasi Masyarakat Sipil Anti Komersialisasi Kartu Prakerja (Kompak) Arip Musthopa meminta pemberian bantuan sosial dan kartu prakerja, untuk korban PHK tidak dicampur. Menurutnya, keduanya adalah hal yang berbeda.
"Kartu Prakerja tidak dapat dibebani tugas social safety net," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (28/5/2020).
Advertisement
Arip punya sejumlah argumen kenapa bansos dan kartu pra kerja harus dipisahkan. Pertama, secara efektifitas transfer of knowledge and skills, pelatihan peningkatan kompetensi akan lebih efektif bila metodenya disertai interaksi dan praktek dibawah bimbingan ahlinya. Hal ini, kata dia, sulit dilakukan di tengah pandemi Covid-19, sehingga menunggu sampai pandemi selesai akan lebih relevan.
"Ketersediaan lowongan kerja yang dapat diisi alumni pelatihan Kartu Prakerja juga akan lebih terbuka setelah pandemi usai," katanya.
Kedua, mekanisme pelatihan daring Kartu Prakerja saat ini merupakan pemborosan anggaran. Mekanisme pelaksanaan Kartu Prakerja saat ini mengarah pada upaya menghabiskan anggaran Rp 5,6 triliun. Padahal, ada cara lain, yakni pelatihan daring melalui www.prakerja.go.id yang lebih sederhana, praktis, dan jauh lebih hemat.
"Pemisahan Kartu Prakerja dari bansos akan menghindarkan bansos Covid-19 dari kemungkinan munculnya korupsi," jelasnya.
Arip menambahkan, para korban PHK tidak membutuhkan pelatihan tapi bantuan sosial. Sebab, korban PHK atau karyawan yang dirumahkan, bukanlah tenaga kerja tanpa keterampilan.
"Mereka skilled labours. Mereka perlu bantuan sosial, bukan peningkatan kompetensi. Lagipula, kalaupun kompetensi mereka ditingkatan, apa bisa dimanfaatkan saat ini? Lowongan kerjanya tidak ada karena banyak industri yang mati suri," sambungnya.