Kenali Dini Stunting Lewat Tinggi dan Berat Badan

Stunting secara dini dapat diketahui dari tinggi dan berat badan anak.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 01 Mar 2020, 06:00 WIB
Stunting diketahui dari tinggi dan berat badan. Copyright pexels.com/@zun1412

Liputan6.com, Stockholm “Kami ada juga proyek percontohan bersama dokter anak sub spesialis nutrisi dan penyakit metabolik, Prof Damayanti Rusli Sjarif bernama aksi cegah stunting di Pandeglang, Banten. Proyek itu mengajarkan kader cara menimbang berat badan anak. Menimbang yang benar dengan cara telanjang (di bawah 2 tahun).”

Pernyataan di atas disampaikan dokter spesialis anak konsultan Klara Yuliarti. Bagi anak di atas 2 tahun dapat tetap mengenakan baju yang tipis. Anak mungkin malu bila telanjang. Namun, popok bayi dan sepatu harus dilepas.

Adakalanya melepas pakaian untuk diukur berat badan terkesan repot. Para ibu pun perlu diberi pengertian. Berat badan yang semakin kurang dapat memperlihatkan, gangguan perlambatan pertumbuhan, salah satunya stunting.

“Jangan bilang kok jadi repot. Anaknya kan jadi nangis dan lama ngukur berat badan saja. Ya, enggak boleh begitu. Memang begitu cara mengukur yang tepat,” terang Klara saat berbincang dengan Health Liputan6.com usai acara The 4th Annual Growth Summit 2020 di Karolinska Institute, Stockholm, Swedia, beberapa waktu silam.

Pemantauan  tinggi atau panjang badan untuk mengenali apakah anak stunting atau tidak harus dipantau terus. Untuk mengukur tinggi atau panjang badan pun tidak semua dapat dilakukan orangtua di rumah. Ini karena alatnya cukup mahal.

“Ada alat sederhana mengukur tinggi badan. Ya, alatnya yang dipakai cukup mahal, harganya bisa Rp2 sampai Rp3 juta untuk length board (alat mengukur panjang badan). Adanya di puskesmas, tapi kan kalau ke puskesmas biasanya anak sakit, bukan rutin menimbang,” lanjut Klara.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:


Warna Pita Kartu Menuju Sehat

Gambar ilustrasi

Mengenai tinggi dan berat badan, ada standar antropometri penilaian status gizi anak dari keputusan menteri kesehatan. Standar tersebut mengacu pada aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di dalam Surat Keputusan Antropometri terpapar tabel berisi berat, tinggi/panjang, dan Indeks Massa Tubuh (IMT).  

Rincian tersebut termaktub dalam buku antropometri yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI tahun 2011.

“Ada standar WHO soal tinggi dan berat badan. Dan itu sudah dimasukkan dalam peraturan menteri kesehatan. Tapi dalam hal ini pemerintah harus menyediakan alat timbangan, alat ukur tinggi badan dan melatih kader,” Klara menerangkan.

“Karena di Indonesia menjadi lini terdepan mengukur itu ya para kader. Pengukuran ada di puskesmas, tapi kan enggak semua balita ke puskesmas.”

Kader juga perlu diajarkan untuk memberikan intervensi atas hasi pengukuran tinggi dan berat badan anak. Klara melihat selama ini anak ditimbang, tapi tidak ada intervensi.

“Jadi, namanya no action (tidak ada aksi). Intervensinya direkam di Kartu Menuju Sehat (KMS). Ya, setelah diukur dan ditimbang ya dicatat juga, tapi tidak ada intervensi. Maksudnya begini, kalau anak sudah berada di pita merah harus dirujuk ke puskesmas,” kata dokter yang sehari-hari berpraktik di RS Ibu dan Anak Bunda Jakarta.

Pada KMS tercantum gambar grafik pertumbuhan anak yang ditandai dengan pita warna hijau, kuning, dan merah. Hijau artinya normal, kuning menandakan anak kurus atau gemuk. Kondisi tersebut harus dicegah, anak harus kembali pada kondisi pita warna hijau.

Merah artinya berat badan sangat kurus atau gemuk serta alami gizi buruk. Anak harus dirujuk untuk mendapat penanganan. Kader harus diajarkan bagaimana melihat KMS. Jika anak mengalami pertumbuhan yang terganggu, maka dapat segera dirujuk.

Kalau kita menunggu sampai berada di bawah garis merah baru dirujuk, artinya hal itu sudah sangat bawah. Bukan tindakan prevensi lagi, tapi sudah stunting. Selain itu, tidak ada edukasi kepada orangtua terhadap pertumbuhan anak, bagaimana kondisinya baik atau tidak. Pertumbuhannya bagus atau tidak.

“Mungkin ada edukasi, tapi sangat minimal. Mungkin juga karena kader kurang mendapat ilmu. Untuk bidan mungkin ada di posyandu. Tidak bisa mencakup satu hari penimbangan. Satu hari penimbangan kan bisa datang 80 atau 100 anak,” Klara menerangkan.


Metabolisme yang Lambat

Dtemui usai The 4th Annual Growth Summit 2020 di KarolinskaInstitute, Stockholm, Swedia, dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakitmetabolik, Cony Tanjung (tengah) menyebut, masalah stunting adalah satu kondisiyang sudah terlambat. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Apabila anak di atas 2 tahun baru diketahui stunting, tidak bisa diobati. Kalaupun diobati, hasilnya jelek. Ini karena kita bicara stunting, bukan semata-mata dari tinggi badan, melainkan fungsi dan kemampuan otak. Padahal, 2 tahun pertama merupakan fase emas perkembangan otak. Nutrisi otak yang harus dipenuhi minimal 5-60 persen, baru otak mampu bekerja.

“Tindakan pengobatan ya no use enggak berguna. Karena masa golden periode-nya itu pada 2 tahun pertama. Ditanya bisa diobati atau enggak. Ya, kita intervensi pertumbuhan badan (mengejar pertumbuhan). Tapi ya hasilnya kurang bagus dan lama,” tambah Klara.

Pada kesempatan yang sama di Stockholm, dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik, Cony Tanjung ikut menambahkan, masalah stunting adalah satu kondisi yang sudah terlambat. Hindari menunggu anak sampai stunting. Pemenuhan nutrisi, pertumbuhan tinggi dan berat badan anak perlu diperhatikan.

“Awareness (perhatian) terhadap stunting juga menjadi isu di negara kita. Kita mesti tahu stunting, jangan sampai (stunting) telat diketahui. Stunting bukan hanya menengah ke bawah ya, menengah ke atas juga ada yang stunting.” Cony melanjutkan.

“Dari media sosial, pengetahuan makanan berkualitas untuk mencegah stunting dapat dicari. Sayangnya, masih banyak berpikir, mencegah stunting dari makan sayur dan buah . Sayur dan buah itu kalorinya sedikit dan nilai protein hampir tidak ada. Mungkin ada, tapi hanya nol sekian persen.”

Ketika anak sudah mengarah pada stunting, yang mana terjadi perlambatan pertumbuhan dan perkembangan, maka harus dirujuk ke faskes, seperti puskesmas atau rumah sakit. Stunting yang tidak bisa ditangani akan menjadi obesitas. Kondisi ini yang menjadi bayang-bayang bahaya selanjutnya. 

“Karena dia udah kelamaan dalam kondisi kurang gizi dan perlambatan, seluruh hormon pada tubuhnya menjadi lambat. Gerakan metabolisme juga lambat. Akhirnya, tatkala dia dapat makan yang agak berlebih, maka mudah terjadi obesitas. Makanan masuk, tapi kinerja tubuh untuk memprosesnya itu lambat,” jelas Cony.


Protein Hewani yang Penting

Ilustraasi foto Liputan6

Agar pertumbuhan tinggi dan berat badan serta perkembangaan otak anak baik, asupan protein hewani sangat dibutuhkan. Dukungan protein hewani mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi dan berat badan anak.

Anak tidak hanya butuh protein kedelai untuk mendapatkan body mass (massa tubuh), melainkan protein hewani.

“Protein hewani dapat diperoleh dari telur dan ikan. Ini sih yang mudah dijangkau masyarakat. Tapi entah kenapa ikan, misalnya, di Nusa Tenggara dan Papua lebih banyak dijual, seharusnya buat mereka makan juga. Harus diedukasi kepada mereka,” Klara menerangkan.

“Untuk susu memang bagus, tapi akses masyarakat terhadap susu enggak semua. Di perkotaan malah banyak konsumsi daging sapi.”


Beda Stunting dan Perawakan Pendek

Beda stunting dan perawakan pendek. (Ilustrasi: Pexels.com/Pixabay)

Ketika praktik sehari-hari, Cony pernah menangani anak yang stunting. Anak stunting datang dari keluarga menengah ke atas dan bawah. Dalam kasus, ibu si anak sudah menyadari, anaknya menunjukkan stunting.

“Saya menangani anak dari menengah ke atas dan bawah. Yang datang ke saya ada yang stunting. Tinggi badannya minus 2 skor, di bawah skor WHO. Dia dari keluarga menengah ke atas, ibu sudah tahu dan memang memantau pertumbuhan anaknya. ‘Anak saya kok stunting. Datanglah dia ke rumah sakit,” cerita Cony yang berpraktik di RS Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Menilik pertumbuhan tinggi dan berat badan, perlu diketahui beda stunting dan berperawakan pendek (short stature). Anak yang lambat pertumbuhan bisa saja bukan stunting, mungkin ia mengalami perawakan pendek. Selain itu, permasalahan bukan belum tentu masalah nutrisi.

“Stunting itu pendek dan memang kekurangan faktor nutrisi kronik. Cara membedakan stunting dan short stature hanya bisa dilihat oleh dokter. Harus dirujuk ke RSUD. Stunting itu kompetensinya dokter anak,” Klara menjelaskan.

“Dengan demikian, kita harus punya growth chart (grafik pertumbuhan). Melihat (pertumbuhan) anak dari lahir. Contohnya, berat anak bisa 3 kg, kemudian turun. Nah, perhatikan, di titik mana dia turun. apakah pada usia 6 bulan atau tidak. Kalau baru datang ke rumah sakit usia 10 tahun karena baru melihat pertumbuhan anak yang lambat ya sulit.” 

Lebih lanjut, Klara menyampaikan, saat kita lihat anak bahwa pertumbuhannya dari awal sudah buruk, mungkin ia mengalami stunting. Namun, kalau lambat lalu lama-lama pertumbuhannya bagus dan naik terus, bukanlah stunting melainkan short stature. Bisa dibilang pertumbuhan anak lambat. 

Membaca grafik pertumbuhan berat dan tinggi badan perlu kompetensi dokter anak. Maka, pada level kader dan dokter umum sebaiknya lakukan rujukan bila menemukan kasus yang dialami.

“Jangan tunggu mendatar itu growth-nya. Sudah agak menjauh, potensial untuk merujuk. Sampai flat (mendatar) itu lebih buruk kondisinya. Artinya begini, grafik tumbuhnya makin lama turun 25 persen, ya dirujuk. Itu very good result (keputusan yang sangat tepat),” tegas Klara.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya