Liputan6.com, Jakarta Oktober 2012 menjadi awal berubahnya kehidupan Hasnita T Arifin. Pendiri Disabilitas Kerja Indonesia ini mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya menjadi tunadaksa.
Di usia 21, ia menjadi seorang relawan dalam salah satu festival di Bali. Ketika acara selesai, ia dan kawan perempuannya memutuskan untuk pelesir menggunakan sepeda motor. Kawannya menyetir dan dia dibonceng.
Advertisement
Tanpa sebab yang pasti, motor tiba-tiba terjatuh. Nahas, saat Hasnita melihat ke belakang, ada sebuah truk besar berwarna putih menghampiri. Kala itu ia tak bisa menghindar dan ban truk menggelinding di atas kaki kanannya.
“Saat itu jalan seketika macet, orang-orang melihat dari jendela tapi tak ada satupun yang menolong. Sampai beberapa saat baru lah seorang pria menawarkan tumpangan untuk membawa saya ke rumah sakit,” kenang Hasnita di Jakarta Selatan, Kamis (27/2/2020).
Ia mendapatkan total lima kali operasi dengan total perawatan di rumah sakit selama empat bulan. Kaki kanannya yang hancur membuat ia harus menerima transplantasi kulit dan tulang.
Katanya, setiap perban diganti, rasa sakitnya luar biasa. “Jeritan saya bisa didengar sampai lantai tiga.”
Terlebih, operasi transplantasi daging yang dilakukan sempat gagal, kakinya sampai berulat.
“Saya sempat bertanya pada Tuhan, kenapa harus saya. Tapi, Tuhan seakan memberi jawaban dengan membuka pintu ruangan. Di sana saya melihat seorang pria tanpa satu kaki. Di sana saya merasa kurang bersyukur dan mencoba lebih positif.”
Musik Sebagai Penyembuh
Empat bulan berlalu, akhirnya Hasnita dapat pulang ke rumah. Kursi roda yang digunakannya kala itu membuat dia sadar bahwa dirinya adalah penyandang disabilitas.
“Saat itu saya gak mau keluar rumah. Kalau ada teman datang ke rumah pasti saya bersembunyi di kamar, saya malu.”
Sampai, satu saat ibunya membawa teman-teman musik untuk bermain musik bersamanya. Sebelum menjadi difabel, perempuan berjilbab ini memang sangat menyukai musik orchestra dan aktif mengikuti konser sebagai pemain biola.
Bahkan, ia memiliki kelas musik sendiri dan mandiri secara finansial sejak usia muda. Atas bujukan sang ibu, Hasnita akhirnya kembali bermain biola. Teman-temannya datang satu pekan satu kali.
Setahun berlalu sejak kejadian, salah satu teman mengajaknya untuk bergabung dalam konser. “Saat itu saya menolak karena saya malu, tapi akhirnya saya memberanikan diri.”
Dengan digandeng kedua temannya, Hasnita masuk ke gedung. Orang-orang melihatnya dengan wajah kasihan “dan saya tidak suka itu, tapi setelah saya bermain, orang-orang terlihat kagum, walau saya difabel tapi saya punya kelebihan.”
Sejak saat itu, ia mulai berani keluar rumah sendiri dan bertekad menjadi aktivis untuk disabilitas. Semua mimpi dan usahanya direalisasikan dengan dibangunnya Disabilitas Kerja Indonesia pada Oktober 2018.
“Jika dibandingkan, hidup saya sebelum disabilitas dan hidup saya yang sekarang, saya merasa hidup saya sekarang lebih bermakna.”
Advertisement