Cerita Akhir Pekan: Di Balik Dapur Travel Influencer

Sejauh mana travel influencer membawa kerja sama dalam bentuk endorsement supaya tak mencederai kepercayaan publik?

oleh Asnida Riani diperbarui 29 Feb 2020, 10:00 WIB
Ilustrasi travel (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak, begitu banyak, cara mempromosikan serba-serbi pariwisata, mulai dari rekomendasi destinasi, hingga akomodasi yang bisa dinikmati di sebuah tempat nan menawan. Satu di antaranya medium yang dimaksud adalah ulasan para travel influencer.

Ya, sudah bukan rahasia lagi bahwa perjalanan mereka acap kali jadi guideline bagi publik. Dari situ, merek-merek tertentu memanfaatkan jasa para travel influencer untuk menggaungkan ragam penawaran, serta informasi terkait yang dinilai penting untuk khalayak.

Jadi, seberapa jauh proses kerja sama ini dilakukan para travel influenecer tanpa mencederai hubungan baik dan kepercayaan yang telah dibangun dengan pengikut setia mereka?

"Kriteria (menerima travel endorsement) tidak ada. Karena blog saya cakupannya cukup luas. Jenis trip bisa ke laut, pedalaman, dan kota, semua di-cover. Itu sebenarnya sesuai dengan saya yang suka tipe perjalanan yang macam-macam," kata travel influencer, Marischka Prudence, lewat pesan pada Liputan6.com, 28 Februari 2020.

Pru, begitu ia akrab disapa, lebih mempertimbangkan apakah sebuah tempat memang menarik untuk diulas. "Jadi, tetap ada filter sendiri," imbuh perempuan yang senang gonta-ganti warna rambut tersebut.

Sementara Susan, sosok di balik akun @pergidulu yang dikelola bersama suaminya, Adam, menuturkan bahwa kriteria dasar menerima endorsement, yakni mesti berhubungan dengan dunia travel.

"Biasanya paling dekat koneksinya dengan, misal, aplikasi booking hotel, travel fair, promo tiket, kompetisi berhadiah jalan-jalan, dan travel gear. Karena kalau tidak nyambung dengan travel, kami kesulitan juga delivery-nya," ungkapnya lewat pesan elektronik, 27 Februari 2020.

Hal senada juga disampaikan Febrian. Terlibat dalam sebuah proyek dengan brand, lelaki asal Kuningan, Jawa Barat ini juga mempertimbangkan apakah produk sudah dipakai, akan dipakai, dan memang secara pribadi ia sukai.

"Karena aku pribadi tidak mau kerjain sesuatu yang membohongi masyarakat," ucapnya saat ditemui di bilangan Jakarta Pusat, 28 Februari 2020.

Saksikan Video Pilihan Berikut:


Konten Endorsement

Ilustrasi travel (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Febrian mengatakan, dalam penyajian konten endorsement, kendati ia akan menuruti guidelines dari pihak brand, tetap ada sederet aturan sendiri yang dipatuhi. "Misal, aku tidak mau yang hard selling banget," ujarnya.

Sementara Pru, untuk blog, dari awal akan ditulis sendiri dan ia punya wewenang penuh dalam penyajian informasi. Karena dijabarkan berdasarkan pengalaman sendiri, ia harus langsung datang ke tempat. "Jadi, memang tidak bisa ada 'titipan'," sambungnya.

Kerja sama dalam bentuk endorsement, menurut Pru, sebenarnya termasuk win-win solution. Pasal, influencer dapat konten untuk dibagikan dan pihak brand memperoleh medium untuk mempromosikan produk atau jasa mereka.

"Saya sendiri biasanya hanya menyetujui kesepakatan-kesepakatan kecil, kayak tag akun mereka atau pakai hashtag tertentu," tuturnya.

Menolak klien mendikte konten juga dilakukan Susan. Ia mengatakan, hampir semua konten endorsement murni dari mereka sendiri. Beberapa hanya perlu persetujuan klien, misal, dari segi visual berdasarkan guideline.

Ilustrasi travel | unsplash.com/@photoripey

Soal format konten, Susan mengatakan, biasanya dibuat sedemikian rupa supaya merujuk pada situasi yang pasti semua orang alami atau butuhkan. "Jadi, kami harus cari benang merahnya dengan situasi sehari-hari. Tidak melulu fokus terhadap produk yang dijual," katanya.

Febrian sendiri tekun membarui informasi terkait cara penyajian konten endoresement. Sedangkan, Pru memanfaatkan interaksi dengan publik supaya diskusi mereka tentang sebuah rekomendasi jadi 'hidup'.

"Jangan cuma unggah. Harus tanya, balas komentar, balas DM, ada interaksi. Dari situ, saya juga sering dapat insight kayak di dekat tempat ini, ada ini. Malah tambah rekomendasi tempat untuk didatangi," ceritanya.


Seberapa Percaya Publik?

Ilustrasi travel. (iStockphoto)

Pru mengatakan, dari interaksi itu, kepercayaan publik terbentuk layaknya dengan seorang teman. "Karena saya ada interaksi, kalau ada salah info, saya yang kayak, 'Oh iya, sorry. Thank you sudah dikoreksi'," ucapnya.

Kepercayaan ini kian lekat karena, pun dalam bentuk endorsement, Pru tetap merasakan langsung dan bisa secara detail menceritakan. Ditambah, sekarang ia banyak menyisipkan perspektif pribadi dalam perjalanan demi perjalanan yang dilakoni.

Susan, karena @pergidulu cukup pilih-pilih dalam menerima endorsement, kebanyakan bisa diterima dengan baik. "Feed socmed kami juga tidak terlihat seperti ‘warung’ yang setiap unggahan adalah endorsement produk. Oleh karena itu, tingkat kepercayaan follower lumayan tinggi," ujarnya.

Febrian menuturkan, sedari awal melakukan kerja sama, ia mengaku tak bisa menjamin publik langsung memberi aksi pada sebuah endorsement. Dalam upaya meyakinkan, ia pun ingin jadi citra brand yang dipromosikan. "Makanya aku biasanya kerja sama dalam jangka waktu panjang," katanya.

Kepercayaan ini di-maintain dengan memberi informasi sebenar-benarnya. "Karena sesuatu yang tidak autentik itu bakal terasa juga," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya