Harga CPO Periode Maret 2020 Turun

Harga referensi tersebut menurun USD53,06 atau 6,32 persen dari periode Februari 2020 yang sebesar USD 839,69/MT.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 29 Feb 2020, 13:33 WIB
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga referensi produk crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode Maret 2020 adalah USD 786,63/MT. Harga referensi tersebut menurun USD53,06 atau 6,32 persen dari periode Februari 2020 yang sebesar USD 839,69/MT.

Penetapan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar.

“Saat ini harga referensi CPO berada pada level di atas USD 750/MT. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK CPO sebesar USD 3/MT untuk periode Maret 2020,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dalam keterangannya, Sabtu (29/2/2020).

BK CPO untuk Maret 2020 tercantum pada Kolom 2 Lampiran II Huruf C Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010/2017 sebesar USD 3/MT. Nilai tersebut menurun dari BK CPO bulan sebelumnya periode Januari 2020 sebesar USD 18/MT.

Sementara itu, harga referensi biji kakao pada Maret 2020 sebesar USD 2.818,11/MT naik 10,76persen atau USD 273,68 dari bulan sebelumnya yaitu sebesar USD 2.544,43/MT. Hal ini berdampak pada peningkatan HPE biji kakao pada Maret 2020 menjadi USD 2.523/MT, naik 11,8persen atau USD 267 dari periode sebelumnya yaitu sebesar USD 2.256/MT.

Peningkatan harga referensi dan HPE biji kakao disebabkan menguatnya harga internasional. Peningkatan ini berdampak pada BK biji kakao yang naik menjadi 10 persen (periode bulan lalu 5 persen). Hal tersebut tercantum pada kolom 3 Lampiran II Huruf B Peraturan Menteri KeuanganNo. 13/PMK.010/2017.

Sedangkan untuk HPE dan BK komoditas produk kayu dan produk kulit tidak ada perubahan dari periode bulan sebelumnya. BK produk kayu dan produk kulit tercantum pada Lampiran II Huruf A Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010/2017.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Brexit Bikin CPO Indonesia Lebih Mudah Masuk Inggris

Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa atau Brexit bagaikan dua sisi mata pisau yang memiliki efek positif dan juga dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa dampak positif terjadinya brexit menguntungkan Indonesia dalam sektor perdagangan. Sebab peluang ekspor pelaku usaha kian terbuka khususnya komoditas CPO ke Inggris dan tidak bergantung lagi kepada Uni Eropa.

Sementara itu, dampak negatifnya yakni perekonomian Benua Biru tersebut akan tertekan. Dengan kondisi tersebut, secara otomatis akan berdampak bagi Indonesia dikarenakan permintaan Uni Eropa terhadap produk dalam negeri akan berkurang.

"Kalau brexit, saya kira ada sisi positif dan negatif," kata dia kepada merdeka.com, Minggu (2/2/2020).

Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko melihat bahwa Brexit bukan hal yang perlu dikhawatirkan sebab ada peluang yang bisa dihasilkan dari sisi perdagangannya.

"Tentu (ada manfaatnya), justru kita melihat bahwa (keadaan) brexit ini, tentu (membuat brexit) harus membangun semua hubungan perdagangannya dengan banyak negara kembali, karena sebelumnya bisa dalam satu kesatuan dengan Uni Eropa. Jadi hal ini juga merupakan peluang bagi Indonesia atau negara-negara yang selama ini secara konvensional berdagang dengan Uni Eropa," ujar Onny, di Museum Bank Indonesia, Jakarta, pada Sabtu 1 Februari 2020.

Onny mengatakan, selain Brexit, ada dua geopolitik dunia yang juga menimbulkan rasa khawatir pada ekonomi Indonesia, di antaranya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, serta resiko geopolitik AS dengan Iran. Sehingga ia menghimbau untuk selalu waspada pada ekonomi dunia.

"Jadi yang saya lihat, kita harus tetap waspada pada ekonomi dunia, adanya resiko geopolitik, dan juga tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia kedepannya," jelas Onny.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya