Kisah Nelangsa Bocah Tanpa Anus Putus Sekolah Gara-gara Kerap Dibully

Kondisi Constantino memang sangat memprihatinkan. Karena, selain menderita hidup tanpa anus, anak seusia dia memilih putus sekolah.

oleh Ola Keda diperbarui 02 Mar 2020, 07:01 WIB
Constantino Soares, siswa berprestasi yang hidup tanpa anus. (Foto: Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Malaka - Komunitas Gerakan Seribu Rupiah (Geser) turut partisipasi menggalang dana biaya operasi, Constantino Soares, bocah 11 tahun yang hidup tanpa anus di Dusun Sukabisikun, Desa Litamali, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka.

Setelah membaca pemberitaan media, Koordinator Geser, Antoneta Uki langsung berkunjung ke kediaman Constantino untuk memastikan kondisinya.

Menurut dia, kondisi Constantino memang sangat memprihatinkan. Karena, selain menderita hidup tanpa anus, anak seusia dia memilih putus sekolah karena tak tahan dengan perundungan teman-temannya.

"Anak seusianya tidak boleh berhenti sekolah, sangat disayangkan. Constantino harus diselamatkan," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (29/2/2020).

Menurut dia, foto kondisi Constantino akan dikirim ke Denpasar Bali. Jika diperolehkan untuk dioperasi, maka komunitas Geser akan melakukan penggalangan dana.

"Seribu rupiah jangan nilainya memang kecil, tetapi apabila semua pihak ingin menyumbang seribu rupiah, optimis Constantino dapat tertolong," katanya.

Ia meminta keluarga Constantino, sang bocah tanpa anus, segera melengkapi berkas indentitas pribadi guna proses penggalangan dana.

"Mulai dari KTP, KK, akta, dan nomor rekening bank harus disiapkan dari sekarang," imbuhnya.

Simak video pilihan berikut ini:


Butuh Uluran Tangan

Koordinator Gerakan Seribu saat berkunjung ke kediaman Constantino Soares. (Foto: Liputan6.com/Amar Ola Keda)

Dihimpit kemiskinan, membuat Alvaro Pareira dan Agusthina Da Costa harus menguburkan niatnya untuk menyembuhkan anak mereka. Agusthina berprofesi sebagai penenun, dan suaminya hanya sebagai petani, membuat keluarga ini berpenghasilan tak menentu.

Untuk menghidupkan anak-anaknya, Agusthina kadang harus rela berjalan kaki puluhan kilo menjajakan hasil tenunnya. Sementara, sang suami saban hari harus bermandi peluh membanting tulang di kebun kecil untuk mencukupi kebutuhan di rumah.

Hingga saat ini, permintaan dokter agar Contantino kembali menjalani operasi di Surabaya belum terkabulkan, karena terkendala biaya.

Pasutri ini mengaku memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), namun kesulitan biaya akomodasi ke Surabaya.

"Dokter minta setelah lima tahun, Constatino harus dioperasi, namun kami belum punya uang. Semoga anak saya mendapat mujisat dari Tuhan lewat uluran tangan dari berbagai pihak," ungkap Agusthina.

Dibalik penderitaannya, Constantino ternyata siswa yang berprestasi di sekolahnya. Constantino pernah menjadi juara sejak masih di kelas I. Namun, ia terpaksa berhenti sekolah lantaran selalu dibully teman-teman sekolahnya.

Ia baru mau kembali sekolah setelah dibujuk oleh seorang gurunya. Karena itu, meski sudah berumur 11 tahun, Constantino kini baru duduk di kelas II SD.

Saat ini, keluarga miskin ini hanya bisa pasrah menanti mujisat lewat uluran tangan dari orang yang tulus membantu pengobatan Constantino.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya