Liputan6.com, Jambi - Perkara tindak pidana pencabulan anak di bawah umur di Kota Jambi yang berujung vonis bebas kini telah memasuki babak baru. Dalam perkara tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jambi yakin memori kasasi yang diajukan dengan terdakwa Ambok Lang, bakal dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Asisten Bidang Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jambi, Fajar Rudi mengatakan, perkara ini tidak boleh berhenti sampai putusan bebas. Lewat memori kasasi yang telah diajukan itu jaksa meminta agar vonis bebas diperiksa kembali sehingga pelaku bisa dijerat sebagaimana yang dituntut jaksa dalam persidangan penuntutan.
Baca Juga
Advertisement
"Masih ada proses yang bisa memberikan putusan seadil-adilnya, jaksa menyadari kekecewaan orang tua korban sehingga jaksa berupaya menyusun kasasi dengan sebaik-baiknya agar harapan korban terpenuhi," kata Fajar Rudi ketika memaparkan perkembangan perkara tersebut, Senin (2/3/2020).
Dalam perkara ini, sebelumnya jaksa menuntut terdakwa Ambok Lang (45) dengan hukuman 6 tahun penjara. Dalam tuntutannya itu, jaksa berkeyakinan bahwa terdakwa terbukti melanggar pasal 82 ayat 2 UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Namun dalam sidang putusan yang digelar 23 Januari 2020, majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi mempunyai penafsiran berbeda. Hakim yang mengadili perkara ini justru memvonis bebas pelaku. Hal ini yang membuat para orang tua korban terus mencari keadilan karena anak-anak perempuan mereka telah dibayangi trauma.
Jaksa penuntut juga membantah semua pertimbangan majelis hakim yang membebaskan pelaku. Menurut jaksa yang menangani perkara ini, dalam kasus pencabulan itu bentuknya tidak harus ada kekerasan fisik atau visum. Melainkan, bujuk rayu dan merundung paksa dari terdakwa seharusnya juga menjadi pertimbangan untuk menguatkan terdakwa bersalah.
Terdakwa Ambok Lang diketahui sehari-harinya bekerja sebagai ASN di Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Selain bekerja di Dinas Pendidikan, ia juga bekerja sebagai guru ngaji. Sepulang dari kantor, Ambok Lang mengajar ngaji di rumahnya, untuk anak-anak usia sekolah dasar. Saat bertindak sebagai guru ngaji itu, terdakwa menjalankan aksinya.
"Ada bukti di persidangan terjadi bujuk rayu dari terdakwa kepada korban. Korban yang masih di bawah umur dibuat tidak berdaya ketika pelaku memeluk paksa dan memangku hingga menggesekan kemaluannya ke belakang tubuh korban," ujar Fajar Rudi.
Fajar Rudi mengaku telah memanggil semua saksi. Dalam keterangan saksi itu berkesimpulan bahwa korban yang berjumlah enam orang anak telah mengalami trauma, gampang menangis dan mudah tersinggung. Seharusnya, majelis hakim dapat mempertimbangkan hasil pemeriksaan psikis dari para korban tersebut.
"Kita menganggap ini ada perbedaan penafsiran dari hakim, jadi kami yakin melalui kasasi ini pasti akan dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Dalam memori kasasi itu kita bantah pertimbangan majelis hakim," dia menjelaskan.
Perkara pencabulan anak tersebut, telah bergulir sejak pertengahan tahun 2019. Namun, puncaknya saat sidang putusan. Terdakwa divonis bebas. Atas putusan itu kemudian menyulut reaksi dari kalangan mahasiswa dan aktivis perempuan dan anak, termasuk para orang tua korban.
Mereka telah berulang kali mendatangi instansi yang menangani perkara ini, hingga menggelar unjuk rasa agar vonis bebas dicabut dan memberikan hukuman berat terhadap terdakwa.
Tak hanya sampai unjuk rasa. Gerakan Save our Sister yang mengawal perkara ini juga melaporkan perkara ini ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan.
Melaporkan Jaksa, Hakim, dan Terdakwa
Para orang tua yang anaknya menjadi korban pencabulan terus mencari keadilan. Mereka melaporkan jaksa, hakim dan terdakwa. Laporan itu masing-masing mereka tujukan ke Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Komnas Anak.
Dalam laporannya itu mereka mendesak pihak terkait agar memeriksa jaksa dan hakim yang menangani perkara tersebut.
"Beberapa waktu lalu kami kirim surat pengaduan, jadi secara umum kami lebih banyak menjelaskan kondisi trauma anak-anak (korban) dalam menjalani proses persidangan dan mempertanyakan saksi ahli yang tidak dihadirkan," kata Juru Bicara Save our Sister, Zubaidah kepada Liputan6.com.
Sementara itu terkait memori kasasi yang diajukan jaksa, Zubaidah meminta Mahkamah Agung agar mempertimbangkan aspek psikologis para korban. Anak-anak perempuan yang menjadi korban mengalami trauma hebat saat melihat terdakwa bebas dan kini berkeliaran di lingkungan tempat mereka.
"Aspek psikologis anak-anak dalam proses hukum belum menjadi pertimbangan, seharusnya kondisi psikologis korban menjadi pertimbangan hakim untuk menjerat pelaku," kata dia.
Menurut Zubaidah, putusan bebas terhadap pelaku pencabulan tersebut justru akan semakin menyuburkan perilaku pencabulan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Vonis bebas yang diberikan kepada pelaku pencabulan itu kata dia, menunjukan aparat hukum tidak memiliki perspektif perlindungan anak dalam menangani perkara. Aspek psikologis korban tidak menjadi pertimbangan, terlebih anak-anak yang menjadi korban dibiarkan merea tertekan dan ketakutan dalam menjalani proses persidangan.
"Vonis bebas ini menambah beban luka psikologis korban pencabulan yang akan terekam dalam waktu lama," kata Zubaidah.
Zubadiah mengapresiasi para orang tua korban yang berani dan terus mencari keadilan, meski ditengah ketidakpastian hukum. Keberanian mereka harus didukung oleh negara karena biasanya orang tua jarang berani melapor.
"Kalau ini vonis bebas pasti dampaknya akan membuat korban lain semakin takut melapor karena aparat hukumnya enggak berpihak pada korban," kata Zubaidah menambahkan.
Advertisement