Liputan6.com, Jakarta “Sedang senggang? Jika ya, mampirlah ke hotel bintang 4 di Jakarta Selatan. Langsung ketuk kamar 601. You are welcome.”
SMS dari nomor asing ini membuat jantungku berdebar. Pertama, ini era WhatsApp yang menggilas BlackBerry Messenger. BlackBerry Massanger, seingatku, sukses menggilas SMS. Hari gini, masih ada orang kirim SMS untuk menyampaikan kabar penting? Oh, come on.
Menerima pesan singkat ini aku tak langsung menggubris. Apalagi, aku tak mengenal nomor ini. Meski jarak dari lokasi syutingku ke hotel yang ada pada tautan SMS tak terlalu jauh, aku malas menghabiskan waktu untuk menuruti arahan orang yang tak kukenal.
Baca Juga
Advertisement
Oh, by the way, namaku Kara Kaluna. Aku sedang sibuk syuting sinetron Perjodohan. Alhamdulillah, rating dan share sinetronku berkibar. Aku syuting Senin sampai Sabtu. Minggu libur kupakai buat pacaran dengan Wardhana Manggala, bintang film Bila Cinta Tak Berbalas.
Makin Kuabaikian, Makin Gelisah
Anehnya, makin kuabaikan, makin aku gelisah. Dalam waktu 5 menit, aku sudah membaca ulang SMS itu 5 kali. Kali ini kucoba menghubungi pengirim SMS. Kali pertama kutelepon, nyambung tapi tak diangkat. Kali kedua, nada sambung terdengar sibuk. Kali ketiga, tak bisa dihubungi. Oke fiks, orang ini iseng.
“Kalau memang iseng, kok bisa dia tahu nomor teleponmu? Nomormu yang ini hanya diketahui oleh orang-orang lingkar pertama. Mereka yang berada di ring kedua menghubungimu lewat manajer atau asisten pribadi,” suara hatiku membisik.
Benar juga, sih. Mungkinkah ini orang dekat yang menggunakan nomor ponsel lain? Siang itu, aku berpikir keras. Naskah dan dialog untuk episode ke-123 tidak kusentuh. Ponsel pintarku, kuremas-remas. Sesekali kucek notifikasi yang tertera di layar sentuh. Siapa tahu orang asing ini mengirim pesan baru.
Advertisement
Jangan Segan Menampar
Lebih dari 30 menit berlalu tak ada balasan. Ck…
Akhirnya aku menghapal naskah. Setengah jam kemudian, lawan mainku Rakyan Sangga, mengetuk pintu ruanganku. “Yuk, udah dikode sama pak sutradara. Nanti adegan nampar gue jangan segan-segan ya, Kar!” ajak Rakyan sambil tersenyum. Aku mengangguk.
Usai mengeksekusi 4 adegan, aku kembali ke ruang artis. Menghapal dialog-dialog berikutnya. Dalam Perjodohan, aku memerankan Renata yang terpaksa menikah dengan Baskara yang dimainkan Rakyan. Rumah tangga dari hasil perjodohan ini semula seperti neraka. Lalu, Renata hamil. Rumah tangga Renata-Baskara pun makin “meriah.”
Pesan Misterius Kedua...
Belum lagi, mulai episode ke-100, mantan pacar Baskara, yakni Nila, muncul. Renata yang nyaris keguguran dirawat dokter Permana yang diam-diam jatuh hati padanya. Kebayang, kan seramai apa konfliknya?
“Ting!” sebuah notifikasi masuk di ponselku. Ya Allah, SMS dari nomor tak dikenal yang tadi. Tanpa berpikir panjang, langsung kutelepon nomor itu. Dan sialnya, tidak aktif. Kubuka isi pesannya.
“Lawan main Wardhana, Putri Gantari, merasa paling cantik dan semua cowok harus jatuh cinta padanya. Wardhana tidak. Atau belum? FYI, check-in biasanya jam 15.” Oke, ini sudah keterlaluan.
Advertisement
Dari Mana Orang Ini Tahu Soal Check-In?
Aku yakin orang ini pasti mematikan ponsel hanya untuk sementara. Akan ada masa dia mengaktifkan ponsel lagi untuk mengirim pesan. Akhirnya, aku mengirim pesan balasan, “Dari mana lo tahu Wardhana check in sama Putri?”
Sore itu aku mulai gelisah. Rakyan merasakan kegelisahanku. Meski semua dialog kuhapalkan dan adegan kueksekusi dengan benar, Rakyan menilai aktingku tak mencerminkan emosi juga rasa. Masa bodo, toh ini cuma sinetron. Bukan FTV atau film.
“Kar, are you okay?” Rakyan menanyaiku.
“Sorry… Sorry… gue lagi ada masalah. Tapi gue janji besok enggak akan kayak gini, Yan. Sorry banget,” jawabku tanpa mampu menyembunyikan kegelisahan.
“Good news-nya adalah, hari ini syuting selesai lebih cepat karena stok episode kita minggu lalu melimpah. Lo ingat, kan? Minggu lalu Perjodohan enggak tayang sehari karena siaran langsung bola? So, istirahatlah. Besok insyaallah pikiran segar lagi,” sambungnya.
Mendekati Hotel, Jantung Berdebar
Aku mengangguk. Lalu pulang setelah mengabari manajerku, Samana, bahwa aku enggak langsung pulang ke rumah karena ada urusan dadakan. Syuting selesai jam 20. Aku masuk mobil dan meminta sopirku, Prabudi, meluncur ke hotel bintang 4 di kawasan Jakarta Selatan.
Mendekati hotel, jantung makin berdebar. Aku sengaja memesan satu kamar di hotel itu atas nama Prabudi lewat aplikasi penjualan tiket transportasi dan sewa hotel. Budi kuminta mengurus proses check in. Ia bersedia. Sepanjang jalan, ponsel terus kuutak-atik. Kubaca ulang dua SMS dari orang tak dikenal ini.
Kupelajari ulasan hotel ini di berbagai situs wisata lewat mesin pencari Google. Seorang pelancong mengulas, hotel ini dilengkapi lift di mana pengunjung tak harus memindai kartu kunnci kamar. Aha! Ini jelas memudahkanku beraksi.
Advertisement
Apa Keputusanku Ini Tepat?
Tiba di hotel, Budi check in dan diberi dua kartu. Satu kartu kuambil lalu Budi kusuruh ke restoran di lantai Ground untuk makan malam setelah kubekali uang setengah juta rupiah. Aku bergegas masuk lift, menuju lantai 6. Lift dilengkapi pendingin ruangan tapi keringat tetap menetes dari pelipisku.
Sementara balasan SMS yang kunanti tak kunjung datang. Lift berhenti di lantai 6. Aku bergegas menuju ke kamar 601 yang berada di ujung lorong. Di depan kamar, aku menarik napas panjang dua kali.
“Ya Tuhan, apa keputusanku ini tepat?” tanyaku dalam hati sembari mengenakan topi dan masker biru muda. Aku mengetuk pintu. Kali pertama, tak ada respons. Kali kedua, masih tak ada respons. Kali ketiga, aku mengetuk lebih keras dan sering.
Ambyar Sudah Hatiku
Terdengar langkah kaki dari dalam mendekati pintu. Lalu pintu dibuka sekitar 10 cm. Yang kulihat dari pintu yang terbuka itu Wardhana. Ambyar sudah hatiku. Mataku seketika memberat lalu berkaca-kaca.
“Ya, ada apa?” sapa Wardhana yang hanya mengenakan celana jogger biru tua polos.
“Ada apa lo bilang? Gue yang harusnya nanya sama lo, ada apa lo check in di sini?” tanyaku sambil membuka masker. Wardhana syok berat.
“Kara, ngapain kamu di sini?”
“Gue yang mestinya nanya, ngapain lo di sini?”
“Aku syuting.”
“Mana kru? Kalau memang lo syuting harusnya ada Mas Raharja dan Mas Restu!”
“Kami lagi break, sayang.”
“Gue mau masuk!”
“Enggak bisa…”
“Ada si Putri kep****, kan?”
Advertisement
Ingin Rasanya Menjambak
Aku mendorong paksa pintu. Wardhana menahan sekuat tenaga. Mungkin benar kata orang, dalam kondisi terdesak, manusia bisa mengeluarkan kekuatan yang bahkan ia sendiri tak menyadarinya.
Aku mendorong pintu lagi, kali ini Wardhana tak kuasa menahan. Saat itulah aku memergoki Putri sedang memakai bra sambil menghadap sudut kamar. Entah kenapa hatiku seperti terbakar. Saking panasnya, aku bisa merasakan mukaku menghangat.
Ingin rasanya mengumpat, menjambak, dan mencakar muka Putri. Sialnya, suara hati mengingatkan, bikin onar di ruang publik bukan tindakan bijak. Infotainment tak perlu tahu soal aib ini.
“Kara…” sapa Putri setelah tali bra terkait. Aku melengos.
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.