Liputan6.com, Jakarta Penyebaran Virus Corona yang begitu cepat dan meluas memang kian mengkhawatirkan. Namun perlu diingat, dari sekian banyak jumlah korban yang bertambah, ribuan pasien juga telah pulih dan beraktivitas seperti biasa.
Sayangnya hanya sedikit yang menceritakan pengalamannya di depan umum, karena diskriminasi dan stigma yang pasti akan mereka hadapi. Namun ada seorang wanita di Singapura yang dinyatakan pulih dari COVID-19, ingin menceritakan kisahnya.
Advertisement
Julie, WN Singapura mengunggah video dirinya sejak didiagnosis positif COVID-19. Julie tidak mengalami gejala apapun (bersin atau batuk).
Pada 7 Februari pukul 03.00 pagi waktu Singapura, ia bangun dalam keadaan pusing luar biasa. Ia merasa ruangan seperti berputar. Dan sehari setelahnya, ia didiagnosis positif COVID-19.
"Saya akhirnya ditempatkan di ruang isolasi. Ruang isolasi benar-benar tertutup dengan 4 dinding. Saya mendapat makanan, obat-obatan, baju ganti, dan handuk dari lubang kecil di dinding," katanya, melansir Channel News Asia.
Kendati demikan, Julie mengatakan, ia dibolehkan menghubungi sanak-saudara atau video call. Tapi sama sekali tidak ada interaksi antarmanusia selain melalui ponsel.
Salah satu hal terberat yang Julie hadapi yaitu masalah pernapasan. Ia merasa paru-parunya bekerja sangat keras, sehingga napasnya menjadi pendek-pendek. Sampai-sampai ia yang sebelumnya tidak mempedulikan masalah pernapasan, jadi tersadar betapa pentingnya organ yang satu ini.
"Selama satu minggu saya berada di ruang ICU. Menurut saudara perempuan saya, dokter mati-matian berusaha mengobati infeksi yang saya alami. Demam juga tak kunjung reda dan saya semakin terengah-engah," ujarnya.
Saksikan juga video menarik berikut:
Kesehatan Memburuk Selama Empat Hari
Kesehatan Julie memburuk selama empat hari. “Dia berada pada batas maksimum bantuan oksigen dalam pengaturan bangsal umum, dan dokter berpikir bahwa dia akan lebih baik dirawat di ICU,” kata saudara perempuannya lagi.
Julie sendiri hanya merasa panik. "Hal terakhir yang saya ingat adalah bungkus wajah untuk bius hingga pelan-pelan saya tertidur. Saya pikir, saya hanya harus percaya pada tim medis," ungkap wanita yang diberi kode 33 tersebut.
Dalam keadaan seperti itu, Pemerintah Singapura mulai menguji semua kasus pneumonia sebagai bagian dari dampak yang ditimbulkan Virus Corona.
"Saya selalu menerima panggilan telepon (dari petugas pemerintahan, Departemen Kesehatan dan Kepolisian Singapura) hingga baterai hp habis," katanya.
Menurut sang kakak, ambulans bahkan dikirim ke rumahnya untuk mengobservasi keluarga mereka--termasuk anak berusia 1 tahun.
Sementara itu di ICU, dokter perlu ECMO (extracorporeal membrane oxygenation), semcam selang oksigen. Opsinya, Julie harus dipindahkan ke Singapore General Hospital.
Bersyukur, kondisi Julie stabil di ICU. Dokter juga telah memberikan obat yang biasanya digunakan untuk mengobati pasien HIV. Tim medis kemudian berusaha untuk mengurangi obat penenangnya.
Advertisement
Menggunakan RFID
Tak cukup di situ, Juli kemudian dibawa ke ruang isolasi. Di sana, ia diharuskan menggunakan RFID (semacam jam tangan pendeteksi suhu tubuh, detak jantung dsb).
"Setelah saya merasa sadar, saya melihat perawat dan petugas medis di sekitar saya. Mereka memasang tabung ke mulut saya," ungkapnya.
"Orang-orang mengira saya akan sakit luar biasa karena mungkin terlihat tubuh saya hanya kulit dan tulang. Tapi ternyata saya bisa menghilangkan kekeliruan tersebut," ujarnya.
Hal yang paling menantang adalah berada di ruang isolasi selama 10 hari. "Dokter sering hanya bicara melalui sambungan telepon. Sedangkan makanan diberikn melalui lubang kecil di ruang perawatan. Rasanya seperti terdampar di sebuah pulau."
"Tapi saat itu saya berpikir, saya bisa melakukan atau mendapatkan apa pun. Hanya saja tidak melakukan kontak manusia."
Setelah masa perawatan, Julie sempat bertemu dengan pasien lain yang disebut sebagai kasus ke 38. Ia dinyatakan sembuh dan dipulangkan. Ia sempat berujar, kekebalan tubuh sendiri yang melawan virus tersebut.
"Begitulah, yang lain mungkin takut, cemas, khawatir, panik. Ada ketakutan, saya bisa pahami. Saya tidak menyalahkan gereja (tempat saya terinfeksi) atau pemerintah. Namun saya menggunakan kesempatan ini untuk mendorong orang lain dan memberi kesaksian bahwa ini yang sebenarnya terjadi (saya alami)," kata Julie, seperti dimuat laman BBC.
"Di tempat ini, saya merasakan belas kasih yang luar biasa dari semua pihak. Saya salah satu orang yang selamat (dari wabah ini). Semoga semua yang merasakan kelelahan (melawan penyakit) bisa semakin berani melawan virus ini," pungkasnya.