Liputan6.com, Jakarta “Kar, aku mau jelaskan semua ini,” Wardhana menyela. Aku menatap cowok yang paling aku banggakan ini dengan rasa kecewa mendalam. Air mataku kembali merembes. Setelah beberapa detik menenangkan diri, aku mencoba menjawab.
“Pertama, jangan bikin fakta memalukan ini seolah adegan sinetron. Kedua, jangan harap tahun depan kita menikah. Ketiga, gue jijik melihat kalian berdua. Kalau mau melanjutkan ronde berikutnya, silakan lo,” jawabku kemudian bergegas keluar kamar. Tak terbilang berapa kali aku menangis saat itu.
Baca Juga
Advertisement
Dadaku sesak. Rasanya mulai kembang kempis. Aku hanya ingin cepat-cepat meninggalkan hotel. Wardhana yang mengikuti dari belakang meraih lengan kiriku namun kukibaskan. Adegan seperti ini sering kujalani di sinetron. Sialnya, ini terjadi di kehidupan nyata.
“Kara, honey, please…” Wardhana memanggilku.
Menangis di Dalam Lift
“Don’t make a scene!” sahutku sambil menekan tombol lift. Untunglah saat kupencet tombol, pintu lift langsung terbuka. Aku masuk. Wardhana ikut masuk namun kudorong tubuhnya.
“Don’t make a scene. Sana, lanjutin!” kataku sambil menekan tombol tutup pintu lift. Pintu pun tertutup. Aku kembali melanjutkan tangis di dalam lift. Sendirian. Melewati lantai 1, buru-buru kuhapus air mata, kemudian mengenakan topi dan masker. Sampai di lobi hotel, aku menghubungi Budi lewat ponsel.
“Bud, masih makan?” tanyaku dari ujung telepon.
“Iya, Mbak. Mbak Kara mau jalan-jalan?”
“Bud, lo kalau mau inap pakai kamar yang tadi gue pesan enggak apa-apa. Gue mau pulang naik taksi aja.”
“Lah, kok jadi saya yang pakai kamar Mbak Kara-nya malah pulang?”
“Sudah lo santai saja. Anggap ini komplimen dari gue. Besok gue ke lokasi syuting bareng Sam (Samana -red.). Lo nyusul ke lokasi syuting habis jam 14 enggak apa-apa. Tadi resepsionis bilang karena ini low season, tamu bisa late check in jam 13-an.”
“Waduh Mbak saya jadi enggak enak, nih.”
“Bye Bud, sampai besok.”
Advertisement
4 Pertanyaan untuk Wardhana
Di sisi kanan lobi hotel berderet taksi mewah. Aku minta petugas lobi memanggil salah satu taksi ke lobi. Di dalam taksi aku menghubungi Sam, memintanya agar menjemputku esok pagi jam 6 lalu berangkat bareng ke lokasi syuting. Sam mengiyakan. Sepanjang perjalanan pulang dengan taksi, aku bertanya-tanya.
Pertama, apakah Wardhana langsung meninggalkan hotel? Kedua, apakah Wardhana memilih menghabiskan malam bareng Putri? Ketiga, sudah berapa lama mereka menjalin hubungan di belakangku? Terakhir, kurang apa aku sampai Wardhana menduakanku? Makin berpikir, makin aku emosi. Air mata menetes lagi.
Tiba di rumah, aku bergegas masuk kamar, mandi, dan tiduran. Ya, Wardhana berkali-kali menghubungiku namun tidak kugubris. Beberapa pesan Wardhana masuk ke WhatsApp tapi tetap kuabaikan.
See? I Told You
Pesan terakhir Wardhana yang muncul di notifikasi ponsel, bunyinya, “Aku tahu kamu butuh waktu berpikir. Aku minta maaf.” Malam itu aku merebahkan diri. Memandangi lampu-lampu yang menghiasi langit-langit kamar.
“Ting!” Bunyi notifikasi SMS masuk. Buru-buru aku bangun dan meraih ponsel yang aku charge di sudut kamar. Dari nomor asing yang kunamai Mr. X. Aku ketuk SMS dan isinya, “See? I told you, so sorry.”
Membaca ini aku hanya bisa menggeleng kepala. Bahkan pertanyaanku tidak dibalas oleh Mr. X. Aku coba hubungi nada sambungnya sibuk. Aku telepon lagi, terdengar suara, “Nomor telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area. Cobalah beberapa saat lagi.”
Advertisement
Butuh Tong Sampah Buat Curhat
Saat itu aku berkata kepada diri sendiri, “Oke Kara, sudah waktunya memejam. Besok panggilan syuting pagi dan adegannya berat-berat. Waktunya kembali fokus ke pekerjaan dan mengabaikan si gob*** Wardhana.” Aku membanting tubuh yang letih dan pikiran yang lelah di kasur.
Sekali ini, aku harus bisa memejamkan mata. Subuh, aku sudah mandi dan bersiap ke lokasi syuting. Sam menjemputku dengan mobil barunya. “Tumben, minta dijemput. Budi ke mana?” tanya Sam, padahal aku baru membuka pintu mobil. Belum juga duduk.
“Budi lagi perlu istirahat. Tapi nanti jam 13 dia menyusul ke lokasi syuting,” jawabku dengan ekspresi wajah datar.
“Gue enggak ngerti lo lagi ada masalah apa. Kita temanan dari SMP. Dari kacamata profesional, gue manajer lo. Tapi kalau lo butuh tong sampah buat curhat, sebagai old and close friend, gue siap, Kar,” ucap Sam sambil memandangku, lalu menggerakkan mobil.
Wardhana Menelepon 16 Kali
Dalam perjalanan ke lokasi syuting di kawasan Bintaro, aku dan Sam malah ngomongin kabar teman-teman SMP. Lalu menggunjing artis transgender yang ngamuk di ruang publik. Tiba di lokasi syuting, Rakyan menyambutku.
Ia memberi tahu soal sejumlah adegan berat yang akan diambil hari itu, yakni Renata memergoki Baskara selingkuh lagi dengan mantan pacarnya, Nila. Astaga, kok bisa mirip begini, ya? Ya, meski Putri bukan mantan pacar Wardhana, sih.
Aku hanya mengangguk, mengambil naskah episode terbaru, lalu bergegas menuju ruang tunggu artis. Pagi itu, Wardhana meneleponku lagi 16 kali. Tapi kubiarkan. Aku masih muak. Rakyan tampaknya tahu ponselku beberapa kali berdering.
Advertisement
Rakyan Menyelamatkan Hariku
“Sorry, bukan bermaksud mau mencampuri urusan pribadi lo. Tapi ponsel lo nyala, kayaknya Wardhana yang nelpon, Kar,” kata Rakyan. Ini orang memang sopan banget. Enggak heran kalau dia disayang produser, sutradara, dan punya fans garis keras.
“Biarin, Yan. Dan boleh enggak jangan bahas orang itu hari ini?” jawabku sambil senyum. Rakyan menyodorkan brownies dari kotak makan pribadinya dan tumbler berisi air mineral. Brownies buatan nyokapnya Rakyan memang juara. Sering jadi rebutan di kalangan pemain dan sutradara.
Kami kemudian latihan dialog penuh dengan emosi dan teriakan. Well, Rakyan benar-benar menyelamatkan hariku. Syuting hari ini berlangsung superlancar. Enggak banyak waktu buat menunggu, karena penata artistik konon menyelesaikan set sejak subuh. Jam 9 malam syuting selesai dan aku bersiap-siap pulang. Ini benar-benar keajaiban di dunia sinetron harian. Woohoo!
Wingko Babat dan Teh Manis
Sam mengabariku bahwa Budi sudah stand by di mobil di pintu barat lokasi syuting. Sebelum pamit, aku cipika-cipiki dengan Rakyan. “Sudah dulu marahnya. Boleh marah lagi sama pacar tapi harus sehari sebelum adegan ngamuk-ngamuk kayak tadi,” sindir Rakyan sambil menyenggol lengan kananku.
“Gimana kalau marahnya sama lo, biar pas adegan berantem di depan kamera, tamparannya lebih berasa dan ngamuknya lebih natural?” jawabku sambil meninggalkan Rakyan yang terpingkal-pingkal.
Budi membawaku pulang. Gila, di tengah suasana hati yang amburadul semesta hari itu memberiku kelegaan dalam bentuk lain. Syuting lancar, lalu lintas lancar. Aku tiba di rumah jam 10 malam pas. Papa dan Mama masih asyik menonton televisi.
Melihatku pulang, Mama memintaku segera membersihkan diri. “Habis itu Mama mau bicara sebentar, boleh?” beri tahu Mama sambil menyiapkan wingko babat dan teh manis panas di meja makan.
Advertisement
Teh Manis Rasanya Tawar
“Tadi Bude Santi mampir ke sini. Dia dari Semarang bawain kamu wingko, tuh. Kamu mandi gih, habis mandi pasti tehnya udah enggak terlalu panas,” kata Mama. Sejujurnya aku rada curiga. Kok tumben Mama mengajak mengobrol malam-malam begini. Biasanya kami bergosip sambil sarapan.
Setelah mandi, aku menuju ruang makan sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kali ini Papa enggak ikut-ikut, ya? Ini obrolan antarperempuan, kan?” bisik Papa sambil mengusap rambutku yang masih basah.
“Tapi kalau butuh saran Papa, besok pagi saja sambil sarapan. Besok kamu panggilan syuting siang, kan,” imbuh Papa sambil mengerlingkan mata.
Mama dan aku duduk di ruang makan. Papa mematikan televisi lalu beranjak ke ruang kerjanya di lantai dua. Mama menyodorkan wingko babat padaku lalu memulai pembicaraan.
“Tadi sore Wardhana mampir. Katanya, dia mencoba menghubungi kamu tapi kamunya enggak merespons. Ada apa, toh?” Mama bertanya seraya menatap mataku. Oh Tuhan, teh manis hangat buatan Mama seketika terasa tawar.
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.