Penjelasan Pakar Vulkanologi ITB Terkait Tipe Erupsi Gunung Merapi

Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta mengalami erupsi pada Selasa (3/3/2020) lalu sekitar pukul 05.22 WIB.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 05 Mar 2020, 19:00 WIB
Gunung Merapi menyemburkan asap dan abu vulkanis terlihat dari Sleman, Yogyakarta, Selasa (3/3/2020). Gunung Merapi meletus pada pukul 05.22 WIB dengan tinggi kolom 6.000 meter , status waspada (level II). (RANTO KRESEK / AFP)

Liputan6.com, Bandung - Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta mengalami erupsi pada Selasa (3/3/2020) lalu sekitar pukul 05.22 WIB. Pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman mengatakan, Gunung Merapi merupakan salah satu gunung aktif di dunia selain Sakurajima di Jepang dan Mauna Loa di Hawaii.

Setiap tahunnya, kata dia, ketiga gunung tersebut sering terjadi erupsi. Selain itu, Gunung Merapi juga memiliki periode letusan pendek setiap empat tahunan dan jangka panjang setiap 10-15 tahun sekali.

"Namun hal tersebut tidak perlu menjadi kekhawatiran bagi penduduk sekitar dengan cara mengetahui self mitigation yang baik," kata Mirzam dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (5/3/2020).

Seperti diketahui, berdasarkan laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, erupsi Gunung Merapi tersebut melontarkan abu vulkanik setinggi 6.000 meter dan tercatat oleh seismogram dengan amplitudo 75 mm dan durasi 450 detik.

Mirzam menjelaskan, dalam melihat gunung api ada yang disebut sebagai Volcanic Explosivity Index (VEI). VEI memiliki rentang nilai dari 0-8. Semua gunung api yang memiliki rentang nilai tersebut ada di Indonesia, dengan rekor tertinggi atau skala 8 dimiliki oleh Toba.

"Merapi ini memiliki nilai VEI-3, artinya berada di posisi tengah atau termasuk gunung eksplosif, yang terjadi kemarin adalah letusan eksplosif yang merupakan tipikal dari letusan Gunung Merapi," ujar Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut.

Lebih jauh, Mirzam mengatakan, VEI sendiri berfungsi untuk mengukur derajat suatu letusan gunung api. Cara menghitungnya cukup sederhana yaitu berapa volume yang dikeluarkan atau secara visual bisa diamati dengan melihat berapa tinggi kolom erupsinya.

"Melalui kejadian erupsi Gunung Merapi, masyarakat sebetulnya bisa mengetahui berdasarkan data yang ada bahwa ketinggian kolom 6.000 meter itu berada dalam skala VEI-3," ujarnya.

Dia menambahkan, interval waktu letusan gunung yang berada dalam VEI-3 adalah biasanya erupsi tiga kali per tahun.

"Jika membandingkan dengan letusan Gunung Merapi pada 2018, sebelumnya gunung tersebut erupsi dengan ketinggian kolom yaitu 5.500 meter. Jika melihat sekilas, tentu ada peningkatan energi dengan tahun 2020," katanya.

Namun, lanjut dia, peningkatan tersebut bisa diartikan dua hal, menunjukkan bahwa Gunung Merapi aktivitasnya akan berangsur naik, atau sebaliknya berangsur turun.

"Untuk mengetahui ini, pemantauan secara komprehensif beberapa parameter seperti seismisitas, perubahan ukuran tubuh gunung api, pendeteksian jenis gas yang dilepaskan dan juga perubahan temperatur akan memberikan jawaban yang lebih pasti," katanya.

 


Mengenal Bahaya Abu Vulkanik

Orang-orang menyeberang jalan yang tertutup abu setelah letusan Gunung Merapi di Solo (3/3/2020). Gunung paling aktif di Indonesia tersebut meletus pada 3 Maret pukul 05.22 WIB dengan tinggi kolom 6.000 meter. (AFP Photo/Dika)

Mirzam mengatakan, PVMBG telah melakukan monitoring yang sangat baik sekali terkait gunung api di Indonesia. Akan tetapi, menurutnya masyarakat juga perlu mengetahui self mitigation dengan melihat fenomena yang terjadi di gunung api.

Dia menjelaskan, bahaya dari gunung api sendiri terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama adalah bahaya primer, yaitu bahaya yang terjadi bersamaan saat gunung tersebut meletus.

"Contohnya adalah letusan Merapi yang baru terjadi kemarin berupa munculnya abu vulkanik, sehingga bisa menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan pandangan," ujar Mirzam.

Kedua adalah bahaya sekunder, yaitu bahaya yang terjadi setelah erupsinya berakhir, seperti munculnya lahar dingin.

"Terkadang orang lupa ketika letusan sudah berakhir, abu vulkanik yang mengendap di lereng, dan bercampur dengan air akan terkirim bersama, atau dikenal dengan lahar dingin atau lahar hujan. Bahayanya sama, akan tetapi lahar panas atau lahar erupsi yang terjadi akibat gunung api yang memiliki danau kawah bisa diantisipasi, sementara lahar dingin kurang bisa diantisipasi," kata Mirzam.

Dia menambahkan, istilah lahar dingin ini awalnya memang dikenal dari Gunung Merapi kemudian banyak diterapkan di gunung-gunung api di dunia.

Simak video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya