Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut bahwa daya saing produk ekspor Indonesia tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, ketika dirinya masih menjadi konsultan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ekspor nasional tidak ada kemajuan.
"Ekspor nonmigas kita sejak saya kerja di LPEM UI dan konsultan Kemendag sampai sekarang menteri, ekspor kita belum banyak berubah, daya saing belum banyak berubah," kata di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (5/3).
Advertisement
Sri Mulyani mengakui memang masih banyak pekerjaan rumah untuk mendongkrak ekspor Indonesia. Dia menyebut, Indonesia tertinggal di saat banyak negara berlomba-lomba untuk menciptakan produk ekspor yang memiliki nilai tambah. Sehingga daya saing ekspor RI tak banyak mengalami peningkatan.
"Berarti kita belum kerjakan homework. Waktu dunia berubah, value added terjadi dengan inovasi teknologi, birokrasi efisien dan semua digital, kita masih hidup tenang di khatulistiwa," canda Sri Mulyani.
Bendahara Negara ini pun mendorong Kemendag agar melakukan inovasi yang bisa mendorong ekspor nasional. Sebab selama ini Indonesia masih sangat mengandalkan sumber daya alam untuk diekspor secara mentah tanpa memiliki nilai tambah yang memanfaatkan teknologi.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Status Negara Maju Tak Berdampak Besar ke Kinerja Ekspor Indonesia
Indonesia baru-baru ini didepak dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bersama India, China dan Brasil. Gelar negara maju disandang, meskipun beberapa pihak menyatakan hal ini justru bukan kabar membanggakan.
Bagaimana pendapat pengusaha atas pencabutan status Indonesia dari negara berkembang ini?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, sebenarnya pencabutan ini tidak begitu berpengaruh karena tidak berkaitan dengan Generalized System of Preferences (GSP).
Adapun, GSP adalah pemotongan bea masuk barang impor yang datang dari negara berkembang ke Amerika Serikat.
"Kalau kita lihat kan khawatirnya kena GSP. Tapi sudah diklarifikasi kan kalau itu nggak ada hubungannya. Hubungannya itu cuma dengan WTO, dengan CVD law-nya Amerika," ujar Shinta saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (26/02/2020).
Lebih lanjut, hukum pengenaan tarif anti subsidi atau countervailing duty (CVD) diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) dan dalam hukum tersebut membahas hal teknis implementasi subsidi bea masuk barang impor.
"Jadi ini mencakup investigasi, ada tidaknya subsidi perdagangan, berapa batas toleransi subsidi dan lainnya," imbuhnya.
Memang diakui, mungkin setelah naik status jadi negara maju, Indonesia akan mendapat toleransi subsidi yang lebih rendah. Asal tahu saja, saat masih jadi negara berkembang, toleransi subsidi bea masuk barang impor Indonesia ke Amerika bisa mencapai 2 persen.
"Nah, kalau sudah jadi negara maju mungkin jadi lebih rendah 1 persen. Ini kita masih dapat GSP kok, dan under review untuk kelanjutannya," katanya.
Pun, dampak ke kondisi ekspor Indonesia juga dinilai tidak akan semengerikan yang dibayangkan.
"GSPnya sendiri saat ini sebenarnya cuma USD 1,8 miliar dari total ekspor sebesar USD 21 miliar, meskipun berdampak tapi kan nggak besar-besar amat," kata Shinta mengakhiri.
Advertisement