Darmawisata ala KontraS Aceh dan AJAR

KontraS Aceh bersama Asia Justice and Rights (AJAR) melakukan tapak tilas ke sejumlah titik peristiwa masa konflik di seputaran Kota Banda Aceh yang berlangsung dari pagi sampai sore, simak perjalanannya:

oleh Rino Abonita diperbarui 07 Mar 2020, 17:00 WIB
Kesaksian penyintas konflik Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Di sudut ruangan itu terdapat sebuah spanduk yang dipajang pada tripod display. Spanduk tersebut berisi seruan Hari Bela Negara yang diperingati Desember tahun lalu.

"Bela negara untuk kemakmuran rakyat.

Kalimat tersebut diakhiri dengan beberapa tagar. Salah satu di antaranya berbunyi "Saatnya bela negara."

Jika ditelusuri di situs Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan RI, akan ditemukan artikel yang menjelaskan tentang pengertian, unsur, fungsi, tujuan, dan manfaat dari bela negara. Dijelaskan bahwa bela negara adalah sebuah konsep mengenai patriotisme.

Aplikasinya bermuara pada upaya mempertahankan eksistensi negara sebagai sebuah organisasi yang terdiri dari pelbagai entitas nasion. Segala anasir yang dianggap akan mendistorsi status quo tidak boleh hidup sama sekali, mesti diberangus.

Deklarasi secara unilateral kemerdekaan Aceh oleh Hasan Tiro cum suis (cs) pada 4 Desember 1976 tentunya berdampak pada kondisi sosiologi politik masyarakat Aceh kudian hari. Struktur masyarakat Aceh pada hari ini, jika dapat dikatakan merupakan buah dari pohon yang ditanam di masa lalu.

Keputusan yang diambil Hasan Tiro pada hari itu disambut dengan pelbagai operasi "bumi hangus" oleh negara melalui angkatan bersenjatanya. Alasannya, tentu saja karena gerakan yang diinisiasi Hasan Tiro telah menganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Bangsa, sebagai sebuah komunitas yang dikontruksi secara sosial, di mana orang-orang menempatkan dirinya pada sebuah kedudukan khayali yang oleh Benedict Anderson disebut dengan "komunitas terbayang." Adapun operasi militer merupakan salah satu jelma dari "bela negara" untuk mempertahankan keutuhan NKRI.

Tapi, apa mau, upaya mempertahankan keutuhan NKRI berimbas jatuhnya korban jiwa lebih banyak di kalangan yang tak seharusnya. Kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi hampir di setiap pelosok Serambi Makkah.

"Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang (bangsa) yang terbatas itu," demikian kata Benedict Anderson dalam Komunitas-Komunitas Terbayang (hal. 11).

Dalam Aceh Damai dengan Keadilan?, KontraS membagi rentetan kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh dalam tiga babak. Kekerasan Pra Daerah Operasi Militer (DOM) 1976-1989, DOM 1989-1998, dan, Pasca DOM 1998-2000.

Korbannya ribuan. Iskandar Usman Al-Farlaky dalam artikelnya berjudul KKR dan Harapan Korban Konflik Aceh, mengutip Fikar dan Darma (h. 121-122), menulis bahwa selama konflik berlangsung, 3.000 orang terbunuh, 3.862 orang dilaporkan hilang, 4.663 orang mengalami penganiayaan, 186 wanita diperkosa, 16 ribu anak kehilangan orang tua, dan, 90 ribu lainnya menjadi pelarian serta tidak memiliki tempat tinggal.

Aceh tak ubah ladang pembantaian. Beberapa peristiwa di antaranya dianggap monumental dari sisi frekuensi dan struktur kekerasan yang dilakukan, seperti Tragedi Rumoh Geudong, dan senasibnya.


Tapak Tilas

Potongan senjata api dan granat yang disimpan di Ruang Memorial Perdamaian (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Kamis (6/3/2020), mengikuti tapak tilas yang diinisiasi KontraS Aceh bekerjasama Asia Justice and Rights (AJAR). Pesertanya dari luar daerah, seperti, Jakarta, Makassar, NTT, Papua, dan beberapa daerah lain.

Omnibus pengangkut rombongan beranjak dari dari kantor KontraS Aceh menuju titik ziarah sekitar pukul 09.30 WIB. Sepanjang jalan, lagu-lagu dari pemutar musik secara bergantian menghibur para penumpang, di antara kakofoni suara kerumunan orang-orang yang menyesaki bus tersebut.

Ruang Memorial Perdamaian di kantor Kesbangpol Aceh adalah lokasi yang pertama dikunjungi oleh peserta. Spanduk "Hari Bela Negara" yang disinggung di awal, diletakkan menghadap pintu ruangan tersebut.

Aura "bela negara" memang terasa kental di tempat itu karena kantor Kesbangpol Aceh berada tepat di depan asrama TNI Kuta Alam. Hari ini, saban waktu, pria-pria mengenakan seragam bermotif lorek dan sepatu lars yang tampak licin mengilat sering lalu lalang di jalan-jalan tengah kota, bahkan, lebih sering terlihat daripada polisi.

Di mulut pintu Ruang Memorial Perdamaian, peserta disambut sebuah bak kaca berisi potongan senjata api; AK 47, M-16, pistol FN, serta granat yang isinya telah dikosongkan. Pemotongan senjata api dilakukan pada Desember 2005, sebagai tanda berakhirnya pelucutan senjata milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, berdiri menghadap ke peserta, membelakangi sebuah gambar berukuran raksasa berisi kronik "Jalan Panjang Perdamaian di Aceh." Ia tengah menjelaskan runut peristiwa yang disebutkan dalam gambar yang terbuat dari bahan vinil tersebut.

Di Ruang Memorial Perdamaian itu terdapat sejumlah alat peraga visual, dan audio visual lain. Di antaranya, pigura Prof. Safwan Idris, akademisi juga ulama, yang dipajang di partisi, dengan bingkai akrilik, di bawah sorotan lampu remang-remang.

Prof. Safwan Idris adalah seorang ulama pembaru, salah satunya menggagas sistem pengelolaan zakat yang kini dikenal dengan nama Baitul Mal. Ia juga punya suara yang cukup dominan dalam memberi masukan terkait penyelesaian konflik di Aceh dengan jalan nirkekerasan.

Di tengah situasi Aceh yang kalut malut, pagi itu, dua orang tidak dikenal menyatroni rumah Safwan. Mengaku mahasiswa untuk suatu keperluan, keduanya pun dipersilakan masuk oleh istri Safwan tanpa rasa curiga sama sekali.

Safwan yang saat itu tengah berkutat di depan komputer ruang kerjanya pun menemui kedua mahasiswanya. Beberapa saat kemudian, suara letusan senjata api terdengar menggelegar seisi rumah.

Ny. Alawiyah terhenyak lantas bergegas keluar dari dapur menuju asal suara tersebut. Rektor UIN Ar-raniry itu tertelungkup, sekarat, berlumur darah, mengembuskan napas terakhir dengan luka tembakan di bagian kepala.

Hendra mengatakan bahwa kasus penembakan Safwan merupakan salah satu kasus yang masih belum terungkap. Siapa pelaku dan motif dari penembakan tersebut masihlah taksa hingga saat ini.

"Ini mestinya jadi pekerjaan rumah atau PR bagi negara. Kasus Prof. Safwan ini patut dicurigai besar hal yang melatarbelakanginya. Itu bukan kriminal biasa, tapi, koheren dengan situasi saat itu," ujar Hendra ditemui Liputan6.com di tempat terpisah, Jumat malam (6/3/2020).

Selain Safwan, orang yang kala itu muncul dengan ide-ide penyelesaian konflik seperti Safwan ialah Prof. Dayan Dawood. Rektor Universitas Syiah Kuala itu meninggal juga karena ditembak di bagian kepala serta pundak, di dalam sedan miliknya pada 2001.


In Memoriam

Pigura di Ruang Memorial Perdamaian (Liputan6.com/Rino Abonita)

Biasanya bulan Maret, dan, ini kali ketiga KontraS Aceh bersama jaringan menggelar tapak tilas ke sejumlah titik memorial beberapa peristiwa masa konflik di Kota Banda Aceh. Bulan tersebut dipilih sejalan dengan peringatan Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran Mengenai Pelanggaran HAM Berat dan untuk Martabat Korban, setiap 24 Maret.

Menurut Programme Officer KontraS Aceh, Faisal Hadi, Aceh belum punya situs memorial yang signifikan, sebagai penanda dan pengakuan terhadap apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Padahal, hal tersebut bisa jadi pelajaran bagi generasi selanjutnya.

"Ini yang kita ingin supaya mulai ada arah ke sana, melalui kegiatan tapak tilas ini," jawabnya kepada Liputan6.com di halaman kantor Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang jadi salah satu titik kunjungan, Kamis siang (6/3/2020).

Kata Faisal, sejarah mengenai konflik Aceh yang saat ini diajarkan di institusi-institusi pendidikan belum mampu mengintegrasikan semua perjalanan sejarah yang terjadi di masa lalu. Akibatnya, generasi kiwari terjebak dalam kebenaran ahistoris seturut narasi politis untuk kepentingan kekuasaan.

Dari kantor KKR Aceh, bus membawa peserta tapak tilas ke sejumlah titik peristiwa lain. Antara lain, lokasi penembakan tokoh Aceh, HT. Djohan di sekitar pagar pekarangan Masjid Raya Baiturrahman.

Gubernur Aceh periode 1987-1992 itu ditembak sepulang dari menunaikan salat magrib, hanya sekitar 50 meter dari rumahnya. Peluru yang dimuntahkan oleh orang tak dikenal itu mengenai kepala Djohan, tiga kali.

Lokasi lainnya adalah bekas penjara di Keudah, Kecamatan Kuta Alam. Penjara tersebut dulunya menjadi tempat menahan ratusan tahanan dari kalangan GAM dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), di antara tahanan itu terdapat Irwandi Yusuf, belakangan menjadi Gubernur Aceh yang terjerat kasus korupsi.

Sekitar 54 dari 143 narapidana GAM yang ditahan di Penjara Keudah diboyong ke Jawa Tengah, sebelum akhirnya ditempatkan secara terpisah pada Januari 2004. Kini, penjara tersebut hanya tinggal tanah kosong.

Tapak tilas pun berakhir menjelang sore, menyisakan sekelumit ruam-ruam dari masa lalu. Ruam-ruam yang mesti diobati, atau, setidaknya direparasi, seperti jargon yang sering dimunculkan oleh KKR Aceh.

Sebagai catatan, pada Oktober 2019 lalu, KKR Aceh merekomendasikan sedikitnya 170 nama penyintas dari 12 kabupaten/kota di Aceh yang membutuhkan reparasi mendesak. Pada tahap pertama, lembaga itu telah merekomendasikan reparasi terhadap 77 penyintas ke Pemerintah Aceh dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Ketua Komisioner KKR Aceh, Afridal Darmi, saat menggelar ekspose, Kamis (24/10/2019), mengatakan bahwa total sementara penyintas yang memerlukan reparasi mendesak berjumlah 247 orang. Data itu diambil dari 12 kabupaten, yakni Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Besar.

KKR Aceh adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata di Aceh, merekomendasikan tindak lanjut, reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi. Lembaga tersebut berhasil mengumpulkan sebanyak 3.040 pernyataan dari penyintas dalam tiga tahun masa kerjanya.

"Tapak tilas ini penting untuk mengingatkan kembali titik-titik tindak kekerasan yang terjadi, dan mempertegas adanya pekerjaan rumah bagi negara, atas hak-hak para penyintas," ujar Asisten Pembela Umum YLBHI-LBH Bandung, Wisnu Prima, salah satu peserta tapak tilas.

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya