Kala Perempuan di Jambi Menyuarakan Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Para perempuan di Jambi yang difasilitasi Walhi berkonsolidasi menyuarakan persoalan lingkungan hidup dan ekonomi.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 08 Mar 2020, 07:00 WIB
Khalisa Khalid (berdiri) saat memimpin konsolidasi kelompok perempuan di Jambi, Rabu (4/3/2020). Dalam konsolidasi itu keluar rekomendasi, yang salah satunya terkait pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dan perempuan sebagai aktor ekonomi. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Setiap 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day). Bertepatan dengan itu, juga merefleksikan bahwa sampai sekarang masih banyak persoalan yang dialami oleh kelompok perempuan.

"Saya minta semua perempuan, ibu-ibu yang ada di sini mulai menyuarakan apa yang dirasakan (ketidakadilan), apa yang dialami perempuan di kampungnya," demikian yang pertama kali disampaikan Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Khalisa Khalid dihadapan puluhan perempuan.

Dalam sebuah agenda konsolidasi perempuan pejuang lingkungan dan sumber daya alam di Jambi, Rabu (4/3/2020), Khalisa mencoba mendoktrin para perempuan yang hadir mulai menyuarakan ketidakadilan gender yang dialami.

Misalnya kata Khalisa, ketika bicara kerusakan lingkungan hidup, dampak pembangunan yang serampangan, perempuan adalah kelompok rentan yang terdampak lebih besar. Karena, selama ini paradigma pengelolaan kekayaan alam telah menjauhkan peran perempuan.

Hal itu juga dibuktikan hampir dibanyak kesempatan. Kelompok perempuan kerap ditinggalkan dalam setiap rencana pembangunan, baik dari tingkat desa atau kampung hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Kebijakan masih mengabaikan kelompok perempuan.

Sekarang sudah saatnya mempunyai inisiatif untuk membangun ruang hidup, alternatif ekonomi. Selain itu, perempuan juga harus berinisiatif menyampaikan pendapat dan meyakinkan pemerintah bahwa perempuan juga bisa menjadi aktor ekonomi.

"Kita kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), jadi harus ada bagian atau inisiatif perempuan untuk mengelolanya. Kalau ekonomi perempuan bisa berjalan, maka ini bisa menjadi proteksi untuk ketahanan ekonomi dan pangan," kata Khalisa.

Keadilan gender menurut Khalisa, harus menjadi bagian terintegrasi dalam perjuangan guna mewujudkan keadilan ekologis. Perempuan mempunyai peran yang strategis dalam berbagai bidang, termasuk ambil bagian dalam setiap kebijakan yang ramah terhadap perempuan dan lingkungan hidup.

"Menyuarakan apa yang perempuan yang alami, saya contohkan apa yang dilakukan ibu-ibu Kendeng (menolak pabrik semen), meski kasus belum selesai dan hasilnya justru ketidakadilan. Bagaimana ibu-ibu Kendeng bisa terus berjuang hingga mendapatkan perhatian dari publik," kata Khalisa.

Dalam sebuah konsolidasi perempuan di Jambi tersebut, Khalisa meminta puluhan perempuan yang hadir supaya dapat memaparkan kondisi yang terjadi di kampungnya masing-masing, baik itu pembangunan, ekonomi atau perampasan hak.

Susilawati, salah seorang perempuan dari Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, yang hadir dalam konsolidasi itu menyampaikan, bahwa perempuan di desanya telah kehilangan hak kelola atas tanahnya yang sekarang diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Dia mengatakan, banyak perempuan di desanya yang kini hanya bekerja sebagai harian lepas di perusahaan setelah mereka tidak bisa menggarap lahan pertanian. Kondisi ini sudah terjadi belasan tahun.

"Sudah 15 tahun lamanya kami meminta hak kami dikembalikan, sudah mengadu kemana-kemana, dan sekarang harus kemana lagi kami mengadu," kata Susilawati.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Rekomendasi

Sejumlah perempuan di Jambi usai berkonsolidasi, Rabu (4/3/2020) Dalam konsolidasi itu keluar sejumlah rekomendasi, salah satunya terkait pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dan perempuan bisa menjadi aktor ekonomi. (Liputan6.com / Dok Walhi Jambi)

Ketidakadilan dan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Menurut World Economic Forum (WEF) pada tahun 2020 Indonesia berada pada peringkat 8 (Asia Pasific) terkait kesenjangan gender global.

Sedangkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pemberdayaan Gender 2019 menempatkan perempuan sebagai tenaga profesional dengan presentase diangka 35 hingga 55 persen.

Dalam sebuah konsolidasi perempuan pejuang lingkungan hidup dan SDA di Jambi tersebut, para perempuan menyatakan akan terus berjuang mengelola sumber daya alam dengan pengetahuan yang mereka miliki.

Mereka juga saling berdiskusi atas masalah yang mereka hadapi dan mengidentifikasi akar masalah, hingga akhirnya konsolidasi itu menelurkan sejumlah rekomendasi.

Rekomendasi dari hasil konsolidasi perempuan dari pedesaan yang digagas Walhi tersebut, di antaranya adalah mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi di wilayah mereka.

Kemudian mereka meminta pemerintah untuk memulihkan alam yang rusak. Dan pemerintah segera mengakui serta melindungi wilayah kelola rakyat dan memfasilitasi dengan menguatkan ekonomi alternatif perempuan.

"Penguatan perempuan untuk menyuarakan aspirasi dan hak-hak perempuan, khususnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta wilayah kelola rakyat yang berkelanjutan."

 


Tantangan Kelola Rakyat Ditengah Omnibus Law Cipta Kerja

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati saat memaparkan pentingnya wilayah kelola rakyat. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapat penolakan dari berbagai pihak, salah satunya Walhi. Selain dianggap akan mendiskriminasi hak pekerja perempuan, RUU Cipta Kerja ini juga akan semakin mempercepat kerusakan ekologi dan mengancam wilayah kelola rakyat.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengatakan, pemerintah masih terus disibukan dengan RUU Cipta Kerja, yang isinya tidak ada hubungan dengan penciptaan lapangan kerja. Dan justru menghilangkan pekerjaan rakyat yang sudah berproduksi.

Juga Omnibus Law RUU Cipta Kerja, menurut Nur Hidayati, merupakan sebuah perangkat hukum yang dibuat pemerintah untuk memuluskan investasi skala besar dengan cara membabat regulasi yang ada sebelumnya dan membungkam suara kritis dari rakyat.

"Saya kira masih banyak lagi potensi alam kita yang harus dikelola dengan lebih optimal. Di depan mata ada jutaan model ekonomi, ada jutaan rakyat yang mau produksi, tapi tidak punya akses, 60 persen wilayah daratan dikuasai konsesi dan korporasi," kata Nur Hidayati dalam sebuah Acetival Wilayah Kelola Rakyat di Jambi.

Yaya, begitu Nur Hidayati disapa, mengatakan, ketimbang membuat kebijakan RUU Cipta Kerja, sebaiknya pemerintah memberikan asistensi untuk meningkatkan produksi rakyat hingga akses pasarnya. Terbukti dengan asistensi itu bisa meningkatkan produktifitas dan rakyat mendapatkan harga jual yang lebih baik.

"Asistensi yang seharusnya dilakukan, misalnya soal akses pasar, kita tahu selama ini akses pasar dikuasi kartel, jadi ketika rakyat tidak punya bekingan, maka tidak bisa mengakses pasar, pecuma juga," katanya menjelaskan.

Sudah saatnya komponen masyarakat sipil, termasuk media untuk turut menyuarakan ekonomi rakyat yang telah berhasil. "Kalau enggak terus disuarakan, maka kita akan semakin sulit menandingi wacana pemerintah dari rencana investasi besar itu," kata Nur Hidayati.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya