Ilmuwan Inggris Gunakan Kode Genetik Lacak Penyebaran COVID-19

Para ilmuwan saat ini tengah menganalisis kode genetik unik dari masing-masing sampel COVID-19 dari pasien yang terinfeksi virus corona (COVID-19) di Inggris.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 11 Mar 2020, 07:00 WIB
ilustrasi genetis? (Foto: smallbusiness.yahoo.com)

Liputan6.com, Jakarta Para ilmuwan saat ini tengah menganalisis kode genetik unik dari masing-masing sampel COVID-19 dari pasien yang terinfeksi virus corona (COVID-19) di Inggris.

Setiap bahan sampel genetiknya atau struktur RNA (genetik) akan mengungkapkan rantai infeksi (siapa yang terinfeksi siapa).

Ilmuwan dari University of Liverpool juga dapat mengidentifikasi virus dan bakteri lain dengan throat swabs (tes diagnosis bakteri dengan mengusapkan kapas steril di bagian belakang tenggorokan selama beberapa detik untuk mengumpulkan sekresi yang diproduksi disana).

Nantinya, sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk dikembangbiakkan di piring khusus, yang disebut kulturasi untuk melihat seberapa berbahayanya dan jenis bakteri yang ada.

Tes ini tidak berisiko apapun, hanya menyebabkan sedikit tersedak sesaat karena bagian belakang karena tenggorokan adalah area sensitif, tapi seharusnya tidak menyakitkan.

Tes ini dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa pasien tanpa kondisi kesehatan mendasar yang diketahui menjadi sakit parah.

"Tujuannya adalah untuk mengetahui siapa yang sakit, jenis penyakit apa yang mereka miliki dan mengapa - apakah virus yang menyebabkannya, apakah sistem kekebalan tubuh mereka terlalu merespons atau apakah mereka memiliki semacam infeksi super?," kata kepala penyelidik Prof Calum Semple mengatakan kepada BBC News.

 


Studi serupa saat meneliti Ebola

Petugas medis membagikan buah-buahan kepada pasien yang terinfeksi virus corona COVID-19 di rumah sakit Palang Merah di Wuhan, 16 Februari 2020. Covid-19 telah mewabah hingga ke lebih dari 60 negara dimana dari kasus-kasus infeksi, ada lebih dari 3.000 kematian yang terjadi. (STR/AFP)

Pendekatan serupa juga pernah digunakan untuk melacak wabah Ebola di Afrika Barat pada tahun 2015.

Prof Tom Solomon, direktur Institute of Infection and Global Health, di University of Liverpool, mengatakan, beberapa pasien tidak memiliki gejala yang berarti. Itu sebabnya, hal ini terus ditelusuri.

"Kami memiliki beberapa pasien yang tidak kita pahami bagaimana mereka terinfeksi, tetapi dengan melihat bahan genetiknya dan membandingkannya dengan yang lain, kita bisa mengisi puzzle yang hilang. Sebagaimana kisah detektif, dan itu dapat membantu mengendalikan wabah dalam jangka panjang," katanya.

Penelitian ini dikoordinasikan di University of Liverpool, Clinical Characterisation Protocol melibatkan para ilmuwan di beberapa universitas lain, termasuk Edinburgh, Oxford, Bristol dan Glasgow.

Temuan awal menunjukkan mereka dapat mengurutkan RNA dari coronavirus dan sisa microbiome dalam delapan jam.

Ketua tim Prof Julian Hiscox, yang telah mempelajari virus corona lain, Middle-East respiratory syndrome (Mers), selama dua tahun terakhir, dengan para ilmuwan di Arab Saudi, mengatakan, "Kami menemukan kasus Mers parah, orang cenderung mati karena mereka memiliki co-infeksi lain juga, seperti klebsiella, yang dapat menyebabkan pneumonia."

"Kami sekarang dapat mengidentifikasi semua microbiome yang mendasarinya, virus dan bakteri dalam sampel pasien, sehingga kami dapat memberikan umpan balik kepada dokter bahwa mereka mungkin memiliki infeksi bakteri yang dapat diobati dengan antibiotik."

Sebagaimana yang kita ketahui, Mers yang muncul pada tahun 2012 telah menyebabkan kematian lebih dari 800 korban walaupun jumlah kasus penularannya lebih banyak COVID-19.


Simak Video Menarik Berikut Ini:

Dokter melihat gambar CT di bangsal isolasi Rumah Sakit Palang Merah di Wuhan, 16 Februari 2020. Virus Corona yang bermula di China tengah pada Desember 2019 kini menyebar secara global di mana lima negara terdampak paling besar, yakni Cina daratan, Korea Selatan, Iran, Italia dan Jepang (STR/AFP)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya