Pasca Putusan MA, Pemerintah Diminta Kembalikan Uang Iuran BPJS Kesehatan

Pasca putusan MA tentang pembatalan Perpres No. 75 Tahun 2019 mengenai perubahan atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah dalam hal ini BPJS Kesehatan harus mulai menyusun konsep teknis pengembalian uang iuran yang sudah dibayarkan

oleh Arie Nugraha diperbarui 10 Mar 2020, 22:07 WIB
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com

Liputan6.com, Bandung - Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah diminta mulai menyusun konsep teknis pengembalian uang iuran yang sudah terlanjur dibayarkan untuk bulan Januari dan Februari oleh peserta.

Caranya melalui regulasi yang dirancang agar aparat di lapangan tidak kebingungan, sehingga terdapat kepastian hukum untuk konsumen.

Menurut Direktur LBH Konsumen Indonesia Firman Turmantara Endipradja, hal tersebut harus dilakukan pemerintah karena prinsipnya jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan.

Namun sebaliknya apabila pemerintah arogan, otoriter dan sewenang-wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan.

“Seperti telah diketahui umum bahwa negara kita adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law, yang bertujuan untuk membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya,” kata Firman dalam keterangan resminya di Bandung, Selasa (10/3/2020).

Firman menjelaskan doktrin rechtsstaat atau rule of law, hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi yang hadir ucap Firman, yang ada hanyalah paham totaliter, fasis, absolut dan represif. 

Nantinya, ungkap Firman, bila itu terjadi, politik akan menjadi panglima di mana hukum menjadi alat mempertahankan kekuasaan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Wujud seperti inilah yang dinamakan negara kekuasaan (machtsstaat).

“Sebetulnya pembuat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, harus malu sampai MA membatalkan hasil kerjanya atau dibatalkan MA. Maaf, termasuk juga presiden seharusnya malu, karena yang menandatangani produk hukum ini adalah presiden,” ujar Firman.

Artinya lanjut Firman, tidak sedikit peraturan presiden yang bertolak belakang dengan kondisi maupun aspirasi masyarakat. Hal ini bisa dianggap melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis, meskipun dari aspek yuridis sudah benar.

 


Konstruksi Hukum Terbalik-Balik

Proses administrasi BPJS Kesehatan untuk kategori peserta mandiri membutuhkan banyak waktu karena banyak hal teknis yang harus dilengkapi

Dengan dibatalkannya Peraturan Presiden ini ungkap Firman, ternyata bahwa konstruksi hukum di Indonesia sudah terbalik-balik alias crowded. Konsep Omnibus Law juga sudah melenceng dari makna sesungguhnya. 

“Konstitusi dilabrak, hukum lingkungan dan tata ruang, hukum pertanahan diterabas, label halal akan dihilangkan, sanksi pidana bagi pelaku usaha akan dihilangkan, hak2 buruh dilanggar, kebebasan pers terusik, hak adat dan lainnya. Dibuatnya peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik, sementara pelayanan publik sudah diamanatkan oleh UUD 1945 dan diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2009,” ucap Firman.

Firman menduga saat ini terdapat pemikiran bahwa yang penting produk hukum dibuat dulu, tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Nantinya terang Firman, jika ada gugatan dari masyarakat adalah tidak penting karena sudah ada mekanismenya. 

Sudut pandang atau pikiran tersebut ungkap Firman, sepertinya menunjukan mengesampingkan aspek profesionalisme. Sistem dan konstruksi hukum menjadi tidak karuan. 

“Harapan kita, semoga kondisi ketidakpastian dan kekacauan hukum ini segera berakhir dan kembali kepada mekanisme dan rotasi hukum yang sudah tertuang dalam konstitusi,” jelas Firman. (Arie Nugraha)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya