Liputan6.com, Jakarta - BPJS kerap mengaku mengalami defisit. Hal ini yang menjadi alasan bagi pemerintah untuk mendorong kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelum akhirnya dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung (MA).
Menurut Wakil Ketua Komisi IX, Emanuel Melkiades Laka Lena, alasan menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena defisit bukanlah ruh dari sistem jaminan kesehatan itu sendiri.
Advertisement
Dia menyebut, BPJS merupakan jaminan kesehatan yang diperuntukkan bagi rakyat. Negara tidak boleh berdagang dengan rakyatnya sendiri.
"Kita ini ini bertransaksi dengan rakyat gitu. Kita mengurus rakyat dan memberikan uang dan itu adalah jaminan yang kita berikan, bukan defisit. Kalau defisit itu kan seolah-olah negara berdagang dengan rakyatnya," kata pria yang akrab disapa Melki itu di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Defisit BPJS, kata Melki, bisa ditambal dengan duit dari anggaran pemerintah.
"Sistem jaminan sosial itu bukan asuransi tapi jaminan sosial itu merujuk pada sila kelima. Artinya pemerintah menyiapkan sejumlah uang untuk membayar," ucapnya.
Melki merasa heran jika dalam hal kesehatan Pemerintah Indonesia tidak mensubsidi rakyatnya. Padahal dalam hal mensubsidi BBM, pemerintah mampu.
"Urusan BPJS jangan angka-angka saja. Ini sila kelima. Yang MA putuskan itu sila kelima," kata dia menegaskan.
"DPR akan menyesuaikan dengan keputusan MA," imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Sebelumnya diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, yang diajukan pada 2 Januari 2020.
"Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, yang dikutip Liputan6.com, Senin (9/3/2020)
Sidang putusan pengabulan tersebut dilakukan oleh hakim Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020.
Sebelumnya, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100%.
Tony Samosir menyatakan, pasien kronis cenderung mendapat diskriminasi dari perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif lagi, sehingga rawan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
Advertisement