Terlambat ke RS Jadi Penyebab Utama Kematian Anak Akibat DBD di NTT

Kematian anak akibat DBD di Kabupaten Sikka, NTT termasuk tinggi, berikut faktor penyebabnya.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 12 Mar 2020, 21:00 WIB
Faktor penyebab kematian anak akibat DBD di Sikka tinggi. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, demam berdarah dengue (DBD) merenggut anak-anak usia 5 sampai 14 tahun. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sejak Januari sampai 11 Maret 2020, dari total kasus kematian DBD sebanyak 104 orang, 14 kematian terjadi di Sikka.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, kematian DBD yang terjadi beberapa faktor. Pertama, keterlambatan. Tidak boleh terlambat ke rumah sakit.

"Puskesmas bisa merawat, tetapi pada demam dengue stadium 1 dan 2, yang mana ada kriterianya. Misal, trombositnya masih di atas 100.000, kondisi anak masih baik, artinya anak tidak muntah dan alami nyeri hebat," jelas Nadia saat ditemui di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, kemarin (11/3/2020).

"Selanjutnya, kesadaran anak yang DBD masih baik. Itu menjadi kriteria puskesmas masih mampu merawat pasien dengan demam dengue."


Kesiapan Layanan Rumah Sakit

Korban DBD meninggal dunia saat berada di ruangan mayat dan keluarga korban menangis histeris. (Foto: Liputan6.com/Dionisius Wilibardus)

Untuk demam dengue stadium 3 dan 4 ada berbagai variasi, seperti bintik merah sedikit, gusi berdarah sekali, trombosit antara 105 atau 99. Dalam tahap ini, puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama masih ragu-ragu, apakah dirujuk atau tidak. 

"Kondisi ini melihat situasi geografis. Kalau kita lihat di Sikka, kan ada daerah yang sangat dekat dengan Ende, yang artinya cukup jauh dan perlu waktu 2 jam ke rumah sakit yang berada di Kota Maumere. Ini jadi pertimbangan soal ketepatan untuk merujuk," Nadia menerangkan.

Kedua, kesiapan layanan rumah sakit. Kita tahu kalau pasien dalam jumlah besar yang terkendali, kemungkinan rumah sakit memberikan pelayanan secara terkendali.

Apabila pasien menumpuk dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) sampai padat akan menjadi penilaian risiko rumah sakit. 

"Tidak semua rumah sakit punya tenaga kesehatan yang sama. Padahal, kasusnya sangat banyak," lanjut Nadia.


Enggan Dirujuk

Ruangan transit pasien di RSUD TC Hillers Maumere. (Liputan6.com/Dionisius Wilibardus)

Ketiga, ada faktor dari masyarakat yang enggan dirujuk. Nadia menyebut, 14 orang yang meninggal akibat DBD di Sikka adalah anak-anak. Masyarakat yang punya anak kena DBD tidak mau merujuk anak ke rumah sakit.

"Sehingga ada beberapa kejadian DBD karena telat. Anak sudah dirawat di puskesmas dan harus dirujuk, tapi orangtuanya enggak mau. Begitu anak sudah enggak sadar, baru mau dirujuk," Nadia menambahkan.

"Yang meninggal 14 orang itu kurang lebih mereka sudah masuk IGD rumah sakit. Lagi proses perawatan di IGD, nyawanya tidak terselamatkan. Sudah telat dirujuk."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya