Liputan6.com, Yogyakarta - Kembalinya keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro dari Belanda ke Indonesia dihargai ahli waris Pangeran Diponegoro. Walaupun menurut Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Ki Roni Sodewo keris itu tidak disebut di Babad Diponegoro, tetapi ia percaya keris itu pernah dimiliki leluhurnya itu.
"Saya sudah membuka tulisan Babad Diponegoro berkali-kali saya yakinkan Pangeran Diponegoro tidak pernah menuliskan tentang keris Kiai Nogo Siluman. Keris yang sering disebutkan adalah keris Bondoyudho dan tombak ada 8 disebutkan dalam babadnya," katanya kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Ki Roni mengatakan keluarga memercayai keris tersebut milik Pangeran Diponegoro berdasarkan data dan dokumen yang telah diteliti sejak lama. Penelitian serius dan sudah sejak lama membuat hasilnya harus dihargai.
Baca Juga
Advertisement
"Keluarga secara ilmiah sudah dijelaskan tim melalui Pak Margana ya kami percaya saja. Apakah benar milik Diponegoro apakah valid ya hanya gusti Allah yang tahu," katanya.
Roni mengatakan untuk menentukan keris Kiai Nogo Siluman benar-benar milik Pangeran Diponegoro memang sulit. Sebab, saat itu keris milik bangsawan sangat minim catatannya.
"Apakah sudah 100 persen betul? Belum tentu juga, bisa jadi ini 100 persen juga bisa tidak, mungkin suatu saat ditemukan data soal keris Kiai Naga Siluman itu," katanya.
Ia mengapresiasi pihak Belanda yang melakukan penelitian hingga empat kali sampai berganti tahun. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada tim yang menjemput keris itu kembali ke Indonesia seperti Margana dari UGM.
"Nama keris Kiai Nogo Siluman melalui penelitian, keris itu sangat panjang bahkan berganti tim sampai keempat kali. Tim keempat itu mampu memberikan bukti dokumen," katanya.
Kontroversi
Soal kontroversi keris Kiai Nogo Siluman, Ki Roni mengatakan sudah berkomunikasi dengan dua ahli keris. Ahli keris itu memiliki pendapat yang sama soal kontroversi keris Kiai Nogo Siluman.
"Dapur Nogo Siluman yang dibayangkan pecinta keris adalah berdapur nogo siluman ketika kembali dan muncul fotonya keris berdapur Nogososro Kamarukan luk 11," katanya.
Menurutnya kontroversi ini bukanlah harus disesali atau berdampak negatif. Justru, ini menjadi hal positif di dunia perkerisan.
"Ahli keris banyak tapi yang saya kenal Ferri Febrianto dan Hadi Sapta Brata atau Abror saya sudah menanyakan keduanya apakah memungkinkan keris gelarnya berbeda dengan dapurnya. Mungkin, contohnya seperti keris Carubuk di Ndalem Pujokusuman, itu dapurnya bukan Carubuk," ujarnya.
Adanya kontroversi dengan pemberitaan tersebut maka masyarakat akan kembali belajar tentang keris. Sehingga kecintaan terhadap budaya dan tradisi bangsa menguat.
"Kita roso handarbeni lebih meningkat. Kalau memiliki keris ini mudah, tetapi rasa handarbeni merawat keris itu sendiri menggunakannya di dalam kegiatan sehari-hari, seperti menghadiri upacara pernikahan dan sunatan," katanya.
Kecintaan itu bisa juga dimulai dari para ASN di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pegawai negeri di DIY ini setiap Kamis Pahing menggunakan seragam adat Jawa diharuskan menggunakan keris juga.
"Menggunkan jarik, lurik, ikat, blangkon tapi tidak jangkep (lengkap) karena mereka tidak menggunakan keris. Misal ada 20 ribu maka ada 20 keris yang harus dimiliki," katanya.
Ki Roni menjelaskan soal kontroversi keris Kiai Nogo Siluman, sejarawan UGM Margana sudah menjelaskan secara ilmiah. Hal ini yang menjadi pedoman ahli waris dalam menyelesaikan kontroversi itu.
"Ok jika kita undang 10 paranormal lalu memiliki pandangan yang berbeda maka juga akan semakin kacau," katanya.
Advertisement
Kisah Kembalinya Keris Kiai Nogo Siluman
Peneliti yang terlibat dalam verifikasi keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro di Belanda Dr Sri Margana yang juga sejarawan UGM menceritakan pada tanggal 22 Februari 2020 lalu, ia diminta oleh Dirjen Kebudayaan untuk memjemput keris milik Pangeran Diponegoro.
Saat itu, tugas pokoknya untuk menverifikasi tentang keris Pangeran Diponegoro yang disebut keris Kiai Nogo siluman. "Rencananya dikembalikan bersamaan raja Belanda ke Indonesia ini," katanya.
Margana mengatakan saat itu pihak pertama yang ditemui adalah kepala istana kerajaan bersama penasihat raja di bidang kebudayaan. Lalu bertemu pejabat kementerian pendidikan negara Belanda untuk diplomasi pengembalian benda bersejarah Indonesia yang ada di Belanda.
"Dalam pertemuan itu dijelaskan dan ditetapkan Belanda dalam pengembalian tidak ada penyerahan dari raja ke Jokowi atau pemerintah, lho itu kan milik Indonesia. Ya mungkin untuk menghilangkan imej negatif. Dari Denhaag kita ke Leiden untuk verikasi keris itu," katanya.
Margana mengatakan jika penelitian keris Diponegoro sudah dilakukan sejak 1984 yang pertama melakukan penelitian ini adalah Pieter Pott, sebagai kurator Museum Volkenkunde di Leiden. Penelitian itu dilakukan karena pada tahun 77 sudah dikembalikan barang Pangeran Diponegoro berupa pelana kuda dan tombak.
"Pengembalian keris itu dalam rangka perjanjian di tahun 75 itu," katanya.
Pott waktu itu menemukan keris yang dianggap milik Diponegoro. Setelah diteliti, menurut Pott, keris itu adalah dari Pangeran Diponegoro diberikan ke HB V lalu diserahkan ke Belanda.
"Tapi kesimpulan itu tidak meyakinkan karena tidak didukung dokumen pasti," katanya.
Lalu akhirnya tahun 2017 dibuat riset yang dipimpin Prof Susan Legene dari Vrije Universiteit Amsterdam menemukan sebuah keris yang dianggap milik Diponegoro barang yang berbeda. Ternyata kesimpulan itu tidak meyakinkan dan tidak ada bukti mendukung.
"Lalu tahun 2017 ditindaklanjuti tim lainnya dipimpin, Leifeldt seorang peneliti dari Volkenkunde, ditemukan penemuan menarik, ditemukan sebuah keris yang didapatkan dengan berdasarkan tiga dokumen penting yang membuktikan keris Diponegoro," katanya.
Dokumen pertama adalah dari surat menyurat dari De Secretaris van Staat dengan Directeur General van Het Department voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies pada 11-15 Januari 1831 beberapa bulan setelah penangkapan Diponegoro.
Surat korespondensi itu dibawa utusan panglima militer Hindia Belanda Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron van De Kock, yaitu Kolonel Jan-Baptist Cleerens, untuk diserahkan kepada Raja Belanda Willem I.
"Dokumen kedua surat kesaksian Sentot Prawirodirjo tanggal lupa bulan Mei 1830 menulis kesaksian itu Pangeran Diponeogoro menghadiahkan Nogo Siluman kepada Kol Cleerens itu ada kopinya ada dokumennya. Dokumen kedua untuk menguatkan Nogo Siluman ada di Belanda," katanya.
Margana melanjutkan dokumen ketiga pernyataan kesaksian Raden Saleh waktu di Belanda pernah melihat langsung keris itu. Kesaksian itu ditulis di dalam surat kesaksian Sentot.
"Kesaksian Raden Saleh membujur. Di surat itu Raden Saleh menuliskan makna apa naga siluman dan mendiskripsikan fisik, dibungkus rodo mas tinggal sedikit di ekor luknya berapa disebutkan itu. Dokumen ketiga itu yang menguatkan ada gambaran nama dan melihatnya di Belanda," katanya.
Hilangnya dokumen yang menyertai keris itu terjadi karena waktu itu saat keris ada di kerajaan pernah terbakar. Sehingga untuk menyelamatkan benda-benda itu diserahkan ke museum pada 1883 dan beberapa keris dibagi-bagi ke beberapa museum.
"Sementara keris Kiai Nogo Siluman di museum Vulkenkunde. Ketika diserahkan dokumen itu hilang hanya ada nomor inventaris barang namun tidak disebutkan jadi yang hilang aalah catatan tentang keris itu yang hilang," katanya.
Secercah Harapan dari Tom Quist
Penelitian soal keris Pangeran Diponegoro kembali dilakukan oleh Tom Quist dari Museum Vulkenkunde pada 2019. Saat itu, mereka menemukan bukti lagi bahwa pada 1875 sebelum dipindah di Vulkenkunde, pernah dipamerkan di Finlandia. Dalam katalog pameran itu menyebutkan bahwa pemilik sebelumnya adalah Pangeran Diponegoro.
"Bukti keempat katalog itu ada nomor invnetaris barang dan itu bukti untuk identifikasi yang paling mendekati yang dari empat itu ya keris itu," katanya.
Namun, tim peniliti masih belum yakin dan pernah mengundang dua Empu dari Indonesia untuk menguji pada 2019. Empu keris pertama menyatakan ini memang keris tua terbukti dari gambar diukir ada Condro Kolonya yang merujuk tahun 1633.
"Ada tiga gambar naga, kedua kijang rusa ketiga bingung apakah singa atau harimau. Empu itu menyebut kemungkinan masa Sultan Agung. Itu tua, ada Condro Sekolo," katanya.
Empu kedua yang diminta menguji keris tanpa memberitahu sejarah keris itu mengatakan keris itu dibuat pada 1850-an yang berarti setelah perang Diponeogoro. Kesaksian ini jelas tidak digunakan tim dan memilih pernyataan Empu pertama.
"Akhirnya mereka membuat kesimpulan bahwa itu satu satunya keris yang ditemukan Quist. Itu juga belum yakin lalu diundang tim dari Austria museum di Yani Kun Saptodewo kurator di museum Wina Austria untuk verikasi apakah betul. Apakah cukup meyakinkan itu keris Diponegoro, verifikasi dan temuan itu valid. Dari dokumen dan historis dia mengatakan cukup valid," katanya.
Setelah ada beberapa bukti itu dan verifikasi yang ketat maka diputuskan untuk dikembalikan ke Indonesia. Lalu minta tim verifikasi dari Indonesia yaitu dirinya untuk memverifikasi.
"Setelah melihat keris itu saya sendiri, opini saya saya tidak membantah kesimpulan itu tapi saya punya perbedaan pendapat tentang gambar ketiga yang dibuat Condro Senkolo 1633," katanya.
Menurutnya, gambar ketiga gajah atau harimau itu sebenarnya Nogo Siluman Jawa. Bagi dia, kuncinya melihat tidak dibilah kerisnya atau pamornya tapi di konjo ada gambar siluman Jawa.
"Kenapa karena patung naga siluman itu sangat populer di masa itu jadi bentuknya naga dengan mulut terbuka menoleh kekanan ada tangannya kalau pewayangan ada sayap, kalau ini kayak dragon ala China itu yang tersembunyi yang selama ini disalahpahami, saya menyimpulkan karakteristik tidak dibilahnya tapi di bagian itu, kesaksian saya," katanya.
Menurutnya, jika melihat dari posisi yang benar maka bisa dilihat gambar nogo siluman itu. Temuan dan opininya pun diamini oleh Dirjen Kebudayaan dan duta besar.
"Secara akademik didukung data secara fisik maka saya percaya itu memang keris naga siluman," katanya.
Advertisement