Kenali Jenis-Jenis Kekerasan Seksual di Ruang Publik

Mulai dari siul hingga fisik, kekerasan seksual di ruang publik dapat menimpa baik perempuan maupun laki-laki. Jangan dianggap sepele.

oleh Putu Elmira diperbarui 14 Mar 2020, 14:30 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual. (dok. Pexels/Josie Stephens)

Liputan6.com, Jakarta - Perlakuan tak mengenakan di ruang publik kerap dirasakan setiap orang ketika beraktivitas di luar rumah. Tidak jarang hal tersebut dapat berujung pada apa yang disebut dengan kekerasan seksual.

Adapun kekerasan seksual terdiri atas lima jenis yang dijabarkan oleh Anindya Restuviani, Co-Director Hollaback! Jakarta, ruang yang memfasilitasi ruang aman bagi para korban dan mengedukasi masyarakat soal kekerasan dan pelehan seksual di ruang publik.

"Pertama fisik, kita pasti tahu bentuknya seperti apa yaitu memegang, meraba. Kedua seperti siul atau catcalling," kata Anindya Restuviani saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Vivi, begitu ia biasa disapa, memberi contoh situasi di kantor atau teman-teman yang suka bercanda berbau seksual, tetapi membuat seseorang tidak nyaman. Namun, terkadang seseorang tidak tahu jika itu termasuk pelecehan seksual.

"Ketiga mental, salah satunya eksibisionis, ada juga yang melihat dari atas sampai bawah kesannya 'menelanjangi'. Itu tidak verbal atau fisik tapi membuat mental seperti 'ditelanjangi'" tambahnya.

Jenis keempat adalah kekerasan secara ekonomi. Jika di ruang publik, Vivi mencontohkan ada bos yang melakukan pelecehan seksual pada bawahnnya. "Karena bawahan tidak berani melakukan sesuatu atau diancam, kalau tidak mau nanti dipecat," ungkap Vivi.

Dengan adanya kekerasan seksual di ruang publik, dikatakan Vivi, akhirnya dapat membuat perempuan keluar bekerja dengan rasa was-was. "Secara tidak langsung membatasi ekonomi dan mobilitas mereka bekerja," paparnya.

Sementara yang terakhir adalah kekerasan seksual di ranah digital atau online. Kata kuncinya adalah unwanted atau tidak diinginkan.

"Saat kita tidak nyaman dengan perilaku orang lain, itu sebetulnya sudah masuk dalam melecehkan, meski tak harus secara seksual," jelas Vivi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Jangan Mengakimi Korban

Ilustrasi sedih (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Pelecehan dan kekerasan seksual di ruang publik memang dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Apa yang dapat dilakukan untuk membantu korban adalah mendengarkan cerita tanpa adanya penghakiman.

"Kalau misalnya teman-teman tidak berani untuk melawan, ya tidak usah dan tidak apa-apa karena bukan tanggung jawab dan kesalahan korban," jelas Vivi.

Bentuk self-care pun dikatakan Vivi dapat bermacam-macam. Adalah kembali meyakinkan jika itu bukan kesalahan korban. "Bisa di-assess dulu perasaan habis mengalami perasaan seperti apa, kaget, malu, sedih, marah, campur aduk," tambahnya.

Hollaback! Jakarta memiliki website di mana para korban dapat menceritakan pengalaman. Hal itu jadi salah satu alasan mereka punya website yang bisa menjadi saran untuk bercerita, cara untuk melepaskan marah.

"Banyak orang marah tapi tidak tahu harus ke mana cari channel, biasanya social media. Terkadang kalau di social media jadinya komen dan victim blaming. Kalau di website kita tidak ada kolom komentar. Biasanya kita balas dengan email bilang itu bukan salah mereka," tambahnya.

Vivi melanjutkan, pihaknya juga akan menyampaikan bila korban membutukan saran lebih lanjut, baik pemulihan secara mental atau melanjutkan ke ranah hukum, mereka dapat memberi referensi.

Kekerasan seksual dialami oleh 80 persen perempuan dan 20 persen laki-laki. "Tapi kalau kita lihat dari angka, pelaku 90 persen tetap laki-laki. Jadi, 20 persen laki-laki bisa jadi korban pelecehan oleh laki-laki juga," jelasnya.

"Edukasinya adalah perlakuan melecehkan tidak boleh dilakukan, baik pada laki-laki dan perempuan," kata Vivi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya