Tak Dapat Insentif Pajak, Pengusaha Ritel Minta Guyuran Stimulus Pemerintah

Stimulus ekonomi jilid II dinilai belum menyentuh sektor riil di hilir, seperti minimarket dan supermarket.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 14 Mar 2020, 12:00 WIB
Suasana di pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, (16/12). Aturan pencantuman tersebut selain bagi importir atau produsen, juga diwajibkan bagi pedagang pengumpul. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah pada Jumat (13/3/2020) kemarin telah mengeluarkan paket stimulus jilid II untuk mengantisipasi dampak virus corona (Covid-19) pada perekonomian. Terdapat beberapa relaksasi fiskal dalam kebijakan tersebut, seperti penangguhan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 bagi karyawan di sektor industri manufaktur.

Lalu, potongan PPh pasal 22 yakni terkait pembebasan bea masuk impor untuk 19 sektor industri pengolahan. Kemudian, pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, dan terakhir relaksasi restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), juga untuk 19 sektor di industri pengolahan atau manufaktur.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menilai, stimulus kedua tersebut sama sekali belum menyentuh sektor riil di hilir, seperti minimarket dan supermarket.

"Akibat Covid-19 yang telah jadi pandemik dan terdampak di Indonesia, maka seluruh sektor mulai dari hulu hingga hilir tergerus. Tetapi Aprindo belum melihat kebijakan pemerintah yang dikeluarkan merambah pada sektor riil di hilir," keluhnya dalam sebuah pesan tertulis, Sabtu (14/3/2020).

Padahal menurutnya, sektor hilir pada perdagangan di ritel modern merupakan sektor padat karya serta memiliki peran strategis dalam memenuhi konsumsi masyarakat, baik untuk kebutuhan pokok pangan dan nonpangan.

"Dan terutama katalisator terhadap inflasi pangan dalam menjalankan HET (harga eceran tertinggi) pada kebutuhan pangan pokok bagi masyarakat," ujar Roy.

Oleh karenanya, ia mengusulkan agar sektor hilir pada ritel modern bisa mendapat perlakuan serupa seperti yang didapatkan para pelaku di bidang manufaktur. Antara lain pemotongan PPh 21 badan dan karyawan, serta penangguhan PPh 22 dan 25 selama 6 bulan ke depan.

"Level at same playing field menjadi harapan sektor hilir pada ritel modern anggota-anggota Aprindo ketika sektor hulu manufaktur mendapatkan guyuran kebijakan fiskal," pinta Roy.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tangkal Dampak Corona, Stimulus Fiskal Jilid II Habiskan Dana Rp 10 Triliun

Tumpukan uang kertas pecahan rupiah di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah siap meluncurkan Stimulus Fiskal Jilid II guna menangkal wabah virus corona yang telah menyebar di Indonesia. Insentif baru itu berupa keringanan bagi Pajak Penghasilan (PPh) 21, PPh 22, PPh 25, serta percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN).

Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edi Pambudi mengatakan, pemerintah siap menggelontorkan anggaran lebih dari yang dikeluarkan pada stimulus jilid I, yakni sekitar Rp 10,3 triliun untuk merilis Stimulus Fiskal Jilid II.

"Saya rasa lebih (dari Rp 10,3 triliun). Kalau dari hitung-hitungan sebenarnya lebih dari itu. Karena ini kan sifatnya multisektor, jadi tidak terbatas di sektor tertentu," kata Edi di Jakarta, Rabu (11/3/2020).

Selain pajak penghasilan, ia melanjutkan, stimulus kedua ini juga akan memberikan kemudahan proses pengembalian restitusi. Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah disebutnya akan coba memutuskan final kebijakan tersebut Rabu sore ini.

"Jadi tujuan untuk dari sisi produksi pajak ini adalah supaya mereka mempunyai aliran uang yang cukup. Jadi tidak tertahan karena harus kewajiban di pembayaran pajak. Desainnya, detilnya kan harus kita sepakati sore ini," tuturnya.

Edi pun berharap, segala kemudahan yang diberikan dalam Stimulus Jilid II ini termasuk relaksasi pajak penghasilan akan bisa menaikkan atau menjaga daya beli, sehingga pekerja akan mendapatkan bagian secara penuh.

"Ada mekanisme ditanggung pemerintah itu artinya sebagian dari pajak itu akan tidak dibayarkan oleh pembayar pajak. Dengan demikian si pembayar pajak akan mendapatkan take home pay, pendapatan dibawa pulang lebih tinggi, sehingga dia bisa menjaga kemampuan daya beli untuk konsumsi dan lain-lain," ungkapnya.  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya