Lewat Koperasi, Nilai Ekonomis Sagu di Riau Bakal Meningkat

Sebanyak 80 persen sagu nasional berasal dari Kepulauan Meranti, sehingga sagu menjadi sumber ekonomi utama.

oleh Tira Santia diperbarui 15 Mar 2020, 12:30 WIB
Gambar pada 9 Februari 2020 menunjukkan pekerja mengolah potongan pohon sagu menjadi tepung di sebuah desa di Meulaboh, provinsi Aceh. Berwarna putih agak pucat, tepung ini sering digunakan untuk pembuatan berbagai makanan dan masakan. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Koperasi dan UKM menyerahkan Surat Keputusan (SK) Koperasi Produsen Sentra Sagu Terpadu, di sela-sela rangkaian acara Festival Sagu Nusantara, di Linau Kuning, Sungai Tohor, Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, pada Sabtu kemarin.

"Semoga pengelolaan sagu oleh masyarakat Kepulauan Meranti akan semakin baik dengan adanya kelembagaan koperasi," kata Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM M Riza Damanik, dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (15/3/2020). 

Menurut Riza, peran koperasi di sini sebagai agregator. "Sehingga, kegiatan persaguan masyarakat menjadi lebih berskala ekonomi dan memiliki nilai tambah," kata Riza.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria br Simanungkalit menambahkan, pihaknya mempunyai perhatian terhadap sagu sebagai andalan pangan, sekaligus menjadi komoditi strategis yang memiliki nilai kearifan lokal.

"Sebanyak 80 persen sagu nasional berasal dari Kepulauan Meranti, sehingga sagu menjadi sumber ekonomi utama bagi masyarakat disana", ucap Victoria.

Sementara Wakil Bupati Kepulauan Meranti H Said Hasyim menekankan bahwa melestarikan peradaban ekologi sagu pada hutan gambut penting untuk dilakukan. "Apalagi, saat musim kemarau, sagu bisa menjadi solusi tepat mencegah karhutla di lahan gambut", ungkap Said.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Sagu Berpotensi Atasi Krisis Pangan

Gambar pada 9 Februari 2020 menunjukkan pekerja memeriksa endapan tepung sagu saat proses pengolahan di sebuah desa di Meulaboh, provinsi Aceh. Tepung sagu adalah jenis tepung yang berasal dari pohon rumbia atau pohon aren, dan pohon jenis ini banyak ditemukan bagian timur. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Sebelumnya, sagu punya potensi untuk mengatasi krisis pangan dan energi. Penanaman sagu pun tidak perlu upaya susah payah. Tanaman ini bisa tumbuh meskipun ditinggal oleh sang pemilik.

Deputi IV Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan menyampaikan, pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan dibutuhkan guna mendukung kekuatan pangan. 

"Produksi diversifikasi sagu dapat digunakan untuk bahan pangan, yakni gula etanol. Sagu sebagai salah satu solusi mengatasi krisis pangan dan energi,” ujar Haris di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, sesuai keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Jumat (4/10/2019).

“Selain itu, sekali tanam, sagu tumbuh berkembang meskipun ditinggal (jarang dirawat). Asalkan ada air." 

Salah satu keistimewaan tanaman sagu, yakni mampu beradaptasi dengan lahan gambut. Sagu dapat hidup di lahan gambut.

"Sagu bisa menjadi komoditas unggulan, khususnya di lahan gambut basah. Upaya ekonomi produktif dari sagu menjadi alternatif menciptakan penghidupan masyarakat yang ramah terhadap ekosistem gambut," Haris menerangkan.

Lahan gambut yang ditanami sagu pun mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Apabila masyarakat menanam sagu, karhutla dapat dicegah. Dalam hal ini, permasalahan karhutla melalui kearifan lokal, seperti penanaman sagu bisa terselesaikan.

Haris mencatat produksi sagu nasional Indonesia tahun 2014 mencapai 585.093 ton, sedangkan potensi produk sagu seluruh Indonesia sebesar 5,5 juta hektar. Jika dikalikan rata-rata produksi 25 ton per hektar, maka produksi sagu seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 165 juta ton.

Sementara itu, luas lahan hutan sagu mencapai 1.225 juta hektar. Total produksi tepung sagu nasional dapat mencapai 6,84 juta ton per tahun.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya