Pakar Hukum Nilai KPK Terkesan Memaksakan Penetapan Tersangka Nurhadi

Nurhadi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

oleh Ika Defianti diperbarui 16 Mar 2020, 03:35 WIB
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman usai memenuhi panggilan KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5). Nurhadi sempat mangkir dari panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menilai, kasus suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Sekertaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi belum jelas perbuatan tindak pidananya.

Sebab dia beralasan, penetapan tersangka terhadap Nurhadi dilakukan empat hari sebelum pergantian pimpinan KPK dan telah berlarut-larut.

"Ini jebakan batman yang menurut saya enggak bagus, karena pada saat dia kita sangka perbuatan yang mana yang dijadikan tersangka itu, itu yang belum clear menurut saya," kata Mudzakir dalam keterangan tertulis, Minggu (15/3/2020).

Selain itu, Mudzakir juga menyebut, jeratan suap dan gratifikasi oleh KPK berdasar pada adanya dugaan proyek fiktif yang masuk ke Rezky dari Hiendra. Padahal, lanjut dia, hal tersebut dapat dicek langsung kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Karena investasi yang dilakukan itu benar-benar ada. Ada, dalam arti kata, semua dokumen dipersiapkan semuanya dan perspektifnya itu semuanya ada," papar dia.

Karena hal itu, dia meminta KPK dapat menemukan lebih dulu bukti permulaan yang kuat untuk menetapkan Nurhadi sebagai tersangka. Sebab jeratan Nurhadi bukan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.

Sesuai Prosedur

Secara terpisah, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan, penetapan tersangka dugaan suap dan gratifikasi terhadap Nurhadi telah sesuai prosedur. Karena hal itu, KPK optimistis akan memenangi gugatan praperadilan yang dilayangkan Nurhadi. Rencananya, sidang praperadilan akan diputus Senin (16/3/2020).

"KPK yakin bahwa hakim tunggal praperadilan tersangka NH (Nurhadi) dan kawan-kawan, akan memutus praperadilan ini dengan tetap menjunjung tinggi integritas, independen, transparan dan berani memutus menolak seluruh dalil permohonan praperadilan NH," ujar Ali Fikri saat dikonfirmasi, Minggu (15/3/2020).

Ali Fikri meyakini hakim PN Jakarta Selatan akan menolak praperadilan Nurhadi karena Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 tentang larangan praperadilan seorang buron.

"Putusan tersebut akan menjadi pembuktian bahwa saat ini MA telah serius berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi dan membangun citra peradilan yang bersih," kata Ali.

Ali mengatakan, pada kesimpulannya KPK menyatakan telah mematahkan semua dalil dan bukti-bukti yang telah dihadirkan Nurhadi dan kawan-kawan selama proses persidangan praperadilan.

"Subjek dan objeknya sama dengan praperadilan yang pernah diajukan tersangka NH dan kawan-kawan dan sudah ditolak hakim PN Jaksel, maka untuk menjamin kepastian hukum sepatutnya permohonan praperadilan yang kedua tersebut haruslah ditolak," kata Ali.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Suap dan Gratifikasi Rp 46 Miliar

Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman berada di ruang tunggu sebelum pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/11). Nurhadi diperiksa sebagai saksi untuk mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sebelumnya, Nurhadi dijerat sebagai tersangka karena yang bersangkutan melalui Rezky Herbiono, diduga telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai Rp 46 miliar.

Tercatat ada tiga perkara sumber suap dan gratifikasi Nurhadi, pertama perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, kedua sengketa saham di PT MIT, dan ketiga gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.

Diketahui Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu. Cek itu diterima saat mengurus perkara PT MIT vs PT KBN.

Ketiganya kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) lantaran kerap mangkir saat dipanggil baik sebagai saksi maupun tersangka. Meski demikian, ketiganya tengah mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya