Virus Corona Ancam Krisis Ekonomi Lebih Parah dari 2008

Sebagai negara berkembang, Indonesia dianggap menjadi negara yang rentan terhadap krisis ekonomi

oleh Tira Santia diperbarui 16 Mar 2020, 12:30 WIB
Pekerja tengah mengerjakan proyek pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (15/12). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 mendatang tidak jauh berbeda dari tahun ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia rentan terhadap krisis ekonomi. Apalagi kini sedang merebaknya virus corona atau COVID-19 di Indonesia yang berdampak terhadap perekonomian.

Ia pun memaparkan lima faktor alasan Indonesia rentan masuk dalam krisis ekonomi. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan yang cukup tajam, yang diperkirakan hanya 4,5-4,8 persen di tahun 2020.

“Bahkan Tahun 2008 pada saat krisis subprime mortgage di AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 6,1 persen. Baru setelahnya turun tajam ke 4,5 persen. Jadi kondisi saat ini jauh lebih beresiko dibandingkan krisis tahun 2008,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Senin (16/3/2020).

Kedua, terkait aliran modal keluar sepanjang enam bulan terakhir, tercatat investor asing melakukan aksi jual sebesar Rp16 triliun.

Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 24 persen di periode yang sama. Sementara itu kurs rupiah melemah 5,41 persen dalam 6 bulan terakhir sebagai akibat dari keluarnya dana asing.

Selanjutnya, ketiga, Indonesia makin rentan terpapar kepanikan pasar keuangan global.  Menurut Asian Development Bank (ADB), sebanyak 38,5 persen surat utang pemerintah Indonesia dipegang oleh investor asing. Lebih tinggi dari negara Asia lainnya. Jika terjadi aksi jual secara serentak tentunya ini beresiko tinggi terhadap krisis ekonomi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Defisit APBN yang Melebar

Pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keempat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cenderung melebar, dengan tax ratio dibawah 10 persen. Penerimaan pajak yang rendah menjadi indikator sektor lapangan usaha dan konsumsi rumah tangga sedang lesu

“PHK terjadi dihampir semua sektor mulai dari industri manufaktur, pariwisata, perbankan, dan startup. Akibat virus corona, perang dagang, dan rendahnya harga komoditas memicu perusahaan melakukan efisiensi karyawan besar-besaran. PHK akan melemahkan daya beli masyarakat,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya