Stimulus Ekonomi Terbitkan Harapan Permintaan Minyak Dunia Kembali Naik

Harga minyak dunia anjlok saat produsen utama Arab Saudi dan Rusia memulai perang harga.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Mar 2020, 12:45 WIB
Ilustrasi Harga Minyak Naik (Liputan6.com/Sangaji)

Liputan6.com, Jakarta Harga minyak mentah dunia mencatat penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991. Anjloknya harga saat produsen utama Arab Saudi dan Rusia memulai perang harga dan mengancam akan membanjiri pasokan ke pasar minyak global.

Hal ini terjadi setelah Rusia menolak untuk mendukung OPEC mengurangi produksi minyak 1,5 juta barel perhari mulai April dan mengakhiri tiga tahun kerja sama pembatasan pasokan yang dilakukan selama ini.

“Saudi mengancam akan memasok 12,3 juta barel per hari (bph) pada April dan ini angka jauh di atas tingkat produksi 9,7 juta bph saat ini. Arab Saudi juga memangkas harga jual minyak mentah resmi untuk April,” kata Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee dalam keterangan hasil risetnya, Senin (16/3/2020).

Selain itu, dari hasil risetnya, menteri Perminyakan Rusia, Alexander Novak, mengatakan tidak mengesampingkan langkah-langkah bersama OPEC untuk menstabilkan pasar, menambahkan bahwa pertemuan OPEC dan berikutnya direncanakan bulan Mei-Juni.

Hans menambahkan, kejatuhan harga minyak hampir 25 persen sempat mimicu panic selling di bursa saham global. Kejatuhan harga minyak juga disebabkan dampak virus Corona.

Tetapi harga minyak mentah West Texas Intermediate dan Brent North Sea di bursa komoditas New York Mercantile Exchange dan London ICE Futures Exchanges mulai kembali naik.

"Kendati begitu, seperti yang dikatakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, bahwa telah meminta Departemen Energi untuk membeli minyak mintah untuk cadangan minyak strategis AS. Kebijakan ini telah mendorong harga minyak mentah naik,” pungkas dia.


Bursa Asia Tergelincir di Tengah The Fed Pangkas Suku Bunga

Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Pasar saham di Asia merosot di tengah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang memangkas suku bungga hingga 0 persen.

Indeks Nikkei 225 di Jepang tergelincir 1,02 persen, sementara indeks Topix turun 1 persen. Kospi Korea Selatan juga negatif dan tergelincir 0,54 persen. Secara keseluruhan, indeks MSCI Asia ex-Jepang diperdagangkan 0,51 persen lebih rendah.

Melansir laman CNBC, Senin (16/3/2020), investor mengamati reaksi pasar terhadap tindakan terbaru The Fed. Suku bunga baru, yang digunakan sebagai patokan, untuk pinjaman jangka pendek bagi lembaga keuangan dan ke konsumen, saat ini ditargetkan sekitar 0 persen sampai  0,25 persen, turun dari kisaran target 1 persen hingga 1,25 persen.

Mengikuti keputusan Fed, saham berjangka AS turun tajam. Pasar saham mencapai level limit down 5 persen lebih rendah. Sebuah langkah yang dilakukan bursa berjangka CME untuk mengurangi kepanikan di pasar. Tidak ada harga yang dapat diperdagangkan di bawah ambang batas itu.

Yen Jepang, sering dipandang sebagai mata uang safe-haven di saat ketidakpastian ekonomi, diperdagangkan pada 106,42 per dolar dari posisi terendah di sekitar 108 terlihat akhir pekan lalu.

Itu terjadi ketika para pejabat di seluruh dunia berlomba menerapkan langkah-langkah untuk memerangi dampak ekonomi dari wabah koronavirus global yang sedang berlangsung.

Sebagai bagiannya, The Fed mengatakan "wabah koronavirus telah merugikan masyarakat dan mengganggu kegiatan ekonomi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.

Di Australia, pasar saham juga turun tajam ketika Federal Reserve AS menurunkan suku bunga acuannya menjadi nol dan meluncurkan program pelonggaran kuantitatif besar-besaran, sebagai langkah darurat.

S&P/ASX 200 turun 4,67 persen pada perdagangan pagi, karena sektor-sektor menurun, dengan subindex keuangan sangat tertekan turun sekitar 5 persen, seiring saham bank-bank besar mengalami penurunan tajam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya