Liputan6.com, Jakarta - Analis Binaartha Sekuritas, M Nafan Aji Gusta Utama, mengatakan sebenarnya dalam data makro ekonomi Indonesia, bisa mengatasi dampak negatif dari pelemahan rupiah.
“Tapi masalahnya penyebaran covid ini secara masif, membuat instrumen USD Amerika Serikat merupakan salah satu intrumen safe heaven, maka dari itu rupiah belum ada katalis positifnya, “ kata Nafan kepada Liputan6.com, Rabu (18/3/2020).
Bahkan, menurutnya Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan kebijakan mengangkat intervensi di bidang pasar saham. Namun, kinerja tersebut masih membuat kinerja rupiah masih berada di zona positif, karena intrumen USD AS yang safe heaven.
“Terus juga kalau pun misal The Fed menurunkan suku bunga acuan, itu tidak seharusnya. Secara logika kalau suku bunga diturunkan kan dolarnya melemah, tapi ini dolarnya malah menguat,” ungkapnya.
Baca Juga
Advertisement
Ia menilai berarti The Fed lebih cenderung memperhatikan resiko dampak sistematis, bagi pasar dari penyebaran Covid-19 ini, karena AS berpotensi bisa mengalami resesi atau kemerosotan, dan memang efeknya dari penyebaran Covid-19 ini, ia memperkirakan akan berakhir Agustus.
Kendati begitu, ancaman resesi masih ada apabila Presiden AS Donald Trump tidak memutuskan suatu kebijakan untuk menangani hal itu, karena ini pemulihannya jangka panjang, tidak bisa temporer.
“Mudah-mudahan ada gebrakan dari Trump ke depannya seperti apa, kalau misalkan dia berhasil memenangkan pemilu pada November nanti, kita lihat gebrakan positif dari Trump untuk mendukung supaya kinerja pertumbuhan kinerja ekonomi AS, benar-benar tidak mengalami resesi sesuai dengan pidato yang ia sampaikan di Washington DC tersebut,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Prediksi Posisi Rupiah di 2 Pekan ke Depan
Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS), yang sempat menembus ke level 15.000 per Dolar Amerika Serikat (AS) imbas dari penurunan suku bunga The Fed.
“Faktor diturunkannya bunga The Fed menambah market panic, karena Fed menurunkan bunga secara signifikan hanya disaat kondisi ekonomi genting,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Liputan6.com, Selasa (17/3/2020).
Kondisi ini dikatakan sempat terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 2008-2009. Selain itu, Bank Sentral AS alias The Fed juga melakukan quantitative easing, yakni salah satu kebijakan moneter guna meningkatkan jumlah uang beredar. Kebijakan ini ikut mempengaruhi ekspektasi pasar terhadap ekonomi global.
Wacana lockdown terkait antisipasi Virus Corona dan pembatasan akses juga berdampak pada memburuknya perekonomian indonesia. Kondisi surplus perdagangan dinilai semu. Impor bahan baku per Februari turun cukup tajam, dibandingkan bulan Januari.
“Biasanya 3-5 bulan setelah impor bahan baku turun, produksi manufaktur ikut turun. Investor asing secara persisten lakukan aksi jual di bursa saham. Dalam sepekan terakhir nett sell di bursa menembus Rp780 miliar,” jelas dia.
Menurut dia, Indeks Dolar sepekan menguat 1.72 persen menjadi 98. Hal ini menunjukkan Dolar dianggap sebagai safe haven ketika kinerja ekonomi global dibayangi resesi.
Dengan kondisi yang ada, dia memprediksi rupiah bisa melemah lebih besar lagi ke depan. “Perkiraan rupiah dua pekan ke depan Rp 15.500- Rp 15.700,” ujarnya.
Saat ditanya, sampai level berapakah rupiah akan melemah, Bhima mengaku belum bisa memastikan karena kondisi terus memburuk.
Advertisement