Melihat 'Social Distancing' Korban Penggusuran di Semarang

Bagaimana menjaga jarak dan berdiam di rumah jika bilik kecil dihuni 5-6 anggota keluarga, dan jarak dengan bilik tetangga kurang dari satu meter?

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 18 Mar 2020, 12:00 WIB
Di bawah dua jalan layang inilah warga Tambakrejo yang digusur ditampung dalam bedeng-bedeng sempit. (foto: Liputan6.com/erlinda puspita wardani/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Semua waspada penyebaran corona covid-19. Pun juga Semarang. Social distancing jadi pilihan. Mungkin tak masalah bagi kaum berada, bagaimana dengan warga Tambakrejo yang digusur dan kini menempati bedeng sempit nyaris tanpa jarak? Ikuti kisah Erlinda Puspita Wardhani, kontributor Liputan6.com di Semarang.

Anjuran lebih banyak berdiam diri di rumah, menerapkan belajar di rumah, bekerja di rumah membuat sebagian kawasan di kota Semarang lengang. Kekhawatiran terhadap penyebaran virus Covid-19 dan anjuran dari pemerintah menjadi sebab.

Di sebuah perkampungan di sisi utara kota Semarang yaitu kampung Tambakrejo, kumpulan anak-anak tetap mengaji, belajar, dan bermain. Teha Edy Johar, salah satu tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa saat ini ada 97 kepala keluarga tinggal di bedeng, sejak digusurnya kawasan ini untuk pembuangan lumpur normalisasi Banjir Kanal Timur.

"Kehidupan warga ya biasa. Nggak ada perubahan dengan anjuran banyak berdiam diri,” kata Teha.

Linear dengan pengakuan Rahmadi, ketua RT 05, RW 16 Kelurahan Tanjungmas Semarang Utara. Meski diakui aktivitas anak-anak berkurang.

"Entahlah, mungkin tak takut corona, tapi lebih takut tak bisa kerja,” kata Rohmadi.

Menurut Rohmadi hingga kini tak ada penyemprotan disinfektan sosialisasi gaya hidup sehat maupun bahaya corona. Untuk urusan kesehatan, warga cukup melapor ke kelurahan, dan akan dihubungkan ke Puskesmas.

"Rata-rata disini sakitnya ya ISPA, flu, diare. Yang berurusan dengan pernafasan itu yang bahaya covid-19,” kata Rahmadi.

Simak video pilihan berikut:

 


Resiko Orang Miskin

Warga Tambakrejo korban penggusuran yang tinggal di bedeng sempit setelah rumah mereka digusur untuk pembuangan lumpur normalisasi Banjir Kanal timur Semarang. (foto: Liputan6.com/erlinda puspita wardhani/edhie prayitno ige)

Sebelum heboh pandemi Covid-19, warga Tambakrejo biasa ditemani komunitas mahasiswa UNDIP, UNNES, UDINUS, dan UNISULA. Mereka dengan sukarela memberi pengajaran gratis termasuk mengaji.

“Setelah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo meminta mengubah Kegiatan Belajar Mengajar dilakukan online, para relawan dan komunitas berdiskusi dengan warga Dusun Tambakrejo dan menyatakan berhenti mengajar untuk sementara waktu,” kata Teha.

Setelah mahasiswa tak lagi hadir, warga gelisah. Tak ada pendampingan yang jelas terkait belajar secara online bagi anak-anak sekolah yang diliburkan ini. Mereka diminta belajar di rumah, tapi tak punya rumah.

“Kalau yang punya rumah sih ada fasilitas. Disini kan nggak ada. Yang terjadi justru anak-anak bukan nurut malah tambah liar,” kata istri pak RT ikut ngobrol.

Rahmadi, ketua RT 05 RW 16 Kelurahan Tanjungmas Semarang. (foto: Liputan6.com/erlinda puspita wardhani/edhie prayitno ige)

Sebenarnya anjuran pemerintah itu sangat serius. Tapi bagi warga korban gusuran ini khawatir jika harus membiarkan anak-anak libur begitu saja. Konsekwensinya, warga harus siap menerima resiko apapun, bahkan jika sampai ada yang menjadi transmisi virus corona.

“Saya dan beberapa teman disini juga berusaha mengajari anak-anak cuci tangan pakai sabun, jelasin apa itu Corona, dan gak nerima tamu dari luar. Tentu saja dengan bekal informasi seadanya,” kata bu Rohmadi.

 


Mengandalkan Solidaritas

Dengan jarak antar bilik dan ukuran bilik sekecil ini, sulit menerapkan social distancing membatasi penyebaran covid-19. (foto: Liputan6.com/erlinda puspita wardhani/edhie prayitno ige)

Beberapa acara di Dusun Tambakrejo terancam batal. Launching buku anak-anak, peringatan hari Nelayan, pasar tiban, panggung pentas yang akan dilaksanakan 4-6 April 2020 kini belum jelas nasibnya.

Menurut Teha Edy Johar, mengisolasi diri bagi orang-orang kaya masih mungkin. Sebab, orang-orang kaya mempunyai rumah dan halaman yang luas. Di perkampungan miskin atau bedeng gusuran ini, orang-orang hidup dalam rumah atau kamar sempit. Ukuran 6 meter persegi, diisi 4 orang atau satu keluarga.

“Antar kamar atau rumah dinding mereka menempel,” katanya.

Setting lockdown di Italy, misalnya, rumah mereka berupa apartemen. Orang-orang masih bisa bernafas hidup di apartemen yang tersusun berjarak. Di Itali mereka bernyanyi secara komunitas sahut-sahutan, menghibur diri.

Teha Edy Johar diantara reruntuhan rumah yang digusur di Tambakrejo Semarang. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Begitu juga di Wuhan. Mereka bertahan pada apartemen yang padat, namun dalam ruangan rumah yang layak. Orang-orang warga gusuran ini tentu sulit bertahan lama jika terjadi lockdown. Sulit karena harus berbuat apa dalam ruang yang sempit. Selanjutnya, bagaimana jika ada yang kena infeksi di sana?

“Salah satu kekuatan orang miskin adalah solidaritas. Ini bisa mengatasi situasi ancaman ini,” kata Teha.

Penyebaran virus corona dapat menghinggapi wilayah miskin kapan saja. Banyak diantara orang miskin menjadi buruh orang-orang kaya, yang mungkin tanpa sengaja virus tertularkan. (erlinda puspita wardani)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya