Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies (IPS) Alfarisi Thalib, menilai pandemik virus corona (COVID-19) mempengaruhi perekonomian. Tidak hanya di Indonesia, namun juga negara-negara lainnya.
"Pandemi ini mengancam pertumbuhan ekonomi negara, dan memicu munculnya krisis-krisis baru, yang tidak hanya krisis kesehatan tetapi juga krisis ekonomi dan pangan,” kata Alfarisi, Selasa (7/4/2020).
Advertisement
Alfarisi mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah yang tidak mengambil kebijakan Lockdown. Menurutnya, langkah pemerintah sudah tepat karena menjadi solusi antisipatif terjadinya krisis yang lebih besar.
"Pemerintah harus memberikan dukungan stimulus kebijakan fiskal yang nyata dan ril, terutama kepada Rumah Tangga dan UMKM, melalui pemberian insentif dan Bantuan Langsung Tunai sehingga walaupun sektor ini mengalami lockdown, namun dengan stimulus tersebut tidak sampai dikarantina,” jelasnya.
Pada sisi yang lain, Alfarisi mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) karena dinilai dapat menjadi strategi dalam proses pemulihan pasca-pandemi.
"Omnibus Law UU Cipta Kerja menemukan relevansinya untuk segera disahkan dan diterapkan dalam menghadapi kondisi krisis baru akibat pandemi COVID-19,” ujar Alfarisi.
Dia beralasan dalam UU tersebut, salah satu muatan utamanya adalah kemudahan berusaha atau Investasi dan penyederhanaan perizinan. "Kedua hal ini mendesak dilakukan dalam situasi kritis seperti saat ini,” tutupnya.
Sektor Terdampak
Menurut Alfarisi, sejak kemunculan corona di Kota Wuhan, China setidaknya ada beberapa sektor yang paling terdampak, di antaranya rumah tangga, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Korporasi, Pariwisata dan Manufaktur, serta Keuangan.
"Keempat sektor ini biasanya selama ini menjadi safety net sekarang mengalami ‘infeksi saluran pernafasan’ dan ‘terisolasi’ akibat adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial,” ujarnya.
Alfarisi pun membandingkan kemampuan UMKM ketika terjadi krisis pada 1997 hingga 1998 lalu. Ia menilai kondisi saat itu sangat berbeda dengan sekarang ini. Pasalnya, saat itu, sektor-sektor yang disebutkan tersebut masih mampu bertahan untuk menghadapi krisis yang bersifat politik.
“Sementara dalam menghadapi pandemi sekarang sektor ini yang justru pertama kali terpuruk dan sedang mengalami 'gagal pernafasan" karena tidak ada kegiatan masyarakat,” pungkasnya.
Advertisement