Lembaga Australia Soroti Krisis Corona COVID-19 RI, Sebut Jadi Celah di Pemerintahan Jokowi

Lembaga wadah pemikir, think tank bernama Loewy Institute yang berbasis di Australia menyoroti fenomena penanganan pandemi Virus Corona COVID-19 di Indonesia.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 19 Mar 2020, 09:31 WIB
Presiden Joko Widodo melakukan video teleconference dengan Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020). Presiden Jokowi menginstruksikan percepatan agenda kerja semua kementerian. (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah lembaga wadah pemikir, think tank bernama Loewy Institute yang berbasis di Australia telah menyoroti fenomena penanganan pandemi Virus Corona COVID-19 di Indonesia. Tulisannya menggarisbawahi celah pemerintahan Jokowi dalam menghadapi virus ini. 

"Ketika ia bangkit dengan cepat dari pengusaha furnitur ke walikota Solo dan gubernur Jakarta menjadi presiden Indonesia, Joko Widodo tetap berpegang pada pendekatan yang sama dalam politik: membangun sesuatu, memotong birokrasi, meningkatkan akses ke layanan dasar (meskipun belum tentu kualitasnya), dan bersandar pada pegawai negeri agar lebih efisien," tulisnya, membuka artikel berjudul "Covid-19 crisis revealscracks in Jokowi’s ad hoc politics."

Artikel itu memiliki pandangan bahwa krisis COVID-19 mengungkapkan kelemahan dalam pendekatan taktisnya terhadap politik, gaya kepemimpinan ad hoc-nya, dan kurangnya pemikiran strategis dalam pemerintahannya.

"Respons awal sangat mencemaskan, dengan menteri kesehatan kontroversial Terawan Agus Putranto menyarankan bahwa doa akan membantu menjaga orang Indonesia aman dari virus dan umumnya gagal mengatasi masalah," tertulis di dalamnya. 

Tulisan itu juga menyorot bahwa per Senin 16 Maret, Indonesia baru menguji lebih dari 1.200 orang untuk COVID-19, jumlah yang sangat kecil, dan melaporkan 134 kasus. Menyebut bahwa tak mengherankan kalau banyak ilmuwan (dan warga negara biasa) takut akan penyebaran virus itu di Indonesia, dengan populasi lebih dari 260 juta orang, jauh lebih luas. Dan tidak heran bahwa orang Indonesia yang kaya telah mendekam di Singapura, sebelum negara itu membatasi masuknya mereka (dan lainnya) pada hari Senin.

Disebutkan pula kurangnya pengujian juga menunjukkan kurangnya transparansi yang lebih luas.

Ucapan Jokowi pekan lalu juga dibahas, pemerintah menahan informasi tentang penyebaran penyakit dari masyarakat karena "tidak ingin menimbulkan kepanikan". Disebutkan bahwa sebagai presiden pertama di bidang ekonomi, ia jelas khawatir tentang dampak dari tindakan respons terhadap pekerjaan dan bisnis. Di mana telah dengan benar, mencoba meyakinkan orang dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan pencegahan dasar yang tepat, seperti mencuci tangan dengan giat dan meminimalkan kontak sosial yang tidak penting.

Dalam sorotannya, pemerintah RI diminta perlu jauh lebih terbuka ketika mengelola krisis kesehatan masyarakat dalam skala ini dalam demokrasi yang luas.

Tak hanya celah, sedikit pujian juga dialamatkan kepada Presiden RI. Di mana dalam beberapa hari terakhir, telah terjadi koreksi arah, saat Jokowi membentuk tim "respons cepat" untuk mengatasi krisis dan menyatakan bahwa pemerintah pusat akan mengambil kendali. 

Tetapi lagi-lagi tercatat masih ada kurangnya koordinasi lintas pemerintah, dan tidak ada rencana yang jelas dan transparan tentang cara memerangi COVID-19.

Menurut tulisan tersebut, naluri politik Jokowi - untuk membangun sesuatu, "blusukan", dan melakukan pemeriksaan langsung - tidak cukup untuk krisis skala dan kecepatan ini. Salah satu alasan mengapa pemerintah daerah mulai menerapkan tindakan mereka sendiri adalah karena mereka kehilangan kepercayaan pada kemampuan Jokowi untuk mengelola wabah.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Perlu Bergerak Lebih

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menghadiri rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Selasa (4/2/2020). Jokowi meminta semua menteri untuk mengambil langkah-langkah perlindungan dan pencegahan virus corona. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tak hanya Jokowi, aksi Menteri Kesehatan Terawan pada Senin 16 Maret mengadakan upacara publik memberikan paket jamu, ramuan herbal tradisional, dari Jokowi ke tiga pasien yang telah pulih dari COVID-19 juga jadi sorotan.

Tapi upaya tersebut dikritik lembaga Australia tersebut. Menyebutnya tindakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan moral itu sebagai pesan yang salah, pada waktu yang salah, dengan cara yang salah. Seolah jadi cerminan bahwa Jokowi dan pemerintahannya masih harus menempuh jalan panjang untuk mengatasi krisis COVID-19.

Disebutkan pula bahwa tantangan demikian bukanlah hal baru bagi Indonesia.

Di akhir artikel dari lembaga Australia itu, disebutkan bahwa pandemi Virus Corona COVID-19 di seluruh dunia, seolah menyorot kelemahan sistem politik, masyarakat, dan ekonomi. Tetapi masalah itu dinilai sangat akut untuk Indonesia. Sebab tidak hanya sebagai negara terpadat keempat di dunia, tetapi juga termasuk salah satu pulau terpadat di dunia, Jawa, menderita tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan masalah kesehatan dasar, dan memiliki sistem rumah sakit yang lemah dan secara kronis kekurangan dana.

Indonesia dinilai telah lama tertahan oleh kurangnya koordinasi lintas kementerian dan antara pemerintah pusat dan daerah. Jokowi disebut tak bisa berharap memperbaiki hal itu dalam dua masa jabatan lima tahun, bahkan jika ia mengambil pendekatan reformasi yang lebih radikal.

Lembaga Australia itu menyebutkan bahwa saat ini lebih dari sebelumnya, pemerintahan Jokowi seharusnya perlu bergerak melampaui sikap sebelumnya, reaktif, dan mengembangkan strategi yang jelas dan koheren untuk mengatasi krisis kesehatan yang menguji semua orang, tetapi dapat menghantam Indonesia dengan keras.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya