Liputan6.com, Jambi - Gunung Kerinci yang terletak di perbatasan Jambi-Sumatra Barat adalah gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia. Berdasarkan riwayat catatannya, gunung berapi tipe stratovulcano ini terakhir kali meletus pada 2009, tetapi tidak ada letusan yang sangat menghancurkan, meski disertai gempa vulkanik.
Saat terjadi letusan pada tahun tersebut, terdengar raungan keras dari perut Gunung Kerinci. Puncak gunung menyemburkan api pijar dan debu vulkanik.
Kartika Dewi Mulyanto, warga Desa Kersik Tuo, Kayu Aro, Kerinci, yang tinggal di kaki Gunung Kerinci, masih ingat betul dengan peristiwa erupsi tersebut. Peristiwa itu, kata dia, terjadi malam hari saat para penduduk di kaki Gunung Kerinci tengah tertidur.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian orang-orang berhamburan keluar. Mereka panik melihat lava yang keluar dari kawah gunung. Peristiwa erupsi Kerinci tersebut, juga disertai dengan guncangan gempa vulkanik.
"Aku ngalamain Kerinci itu erupsi pas masih kecil sekitar tahun 2009, dan itu yang paling parah menurutku. Di awal aja sih panik, lama-lama udah gitu aja, aktivitas kembali normal, orang-orang kembali berladang," kata Kartika kepada Liputan6.com, Rabu (18/3/2020).
Kartika adalah generasi kelima yang tinggal di Kayu Aro, tepat di kaki Gunung Kerinci. Nenek moyangnya dulu berasal dari Pulau Jawa yang dibawa penjajah Belanda untuk dipekerjakan membuka perkebunan teh Kayu Aro. Kini perkebunan teh itu telah dinasionalisasi dan diambil alih PTPN VI.
Penduduk di kaki Gunung Kerinci beragam etnis. Menurut Tika, masyarakat yang tinggal di sana, baik keturunan Jawa dan masyarakat asli Kerinci, masih mempertahankan tradisi dan adat, seperti upacara sedekah bumi.
Sedekah bumi itu mereka lakukan untuk meminta pertolongan agar dijauhkan dari mara bahaya bencana letusan gunung api. Ritual adat sedekah bumi digelar setiap tahun yang dilakukan dengan pemotongan kerbau di pintu rimba Gunung Kerinci.
"Seingatku pas Kerinci erupsi, dan enggak berhenti, terus diadain upacara ngubur kepala kerbau atau sapi," tutur Tika saat mengingat letusan kerinci yang terjadi satu dekade silam itu.
Simak Video Pilihan Berikut:
Petuah Orang Tua
Tinggal di kaki gunung berapi memang sudah menjadi risiko. Di kawasan itu merupakan daerah rawan bencana alam letusan gunung. Daerah ini kerap disebut pula sebagai daerah yang sabuk api pasifik (pacific ring of fire).
Namun warga di Kayu Aro khususnya yang paling dekat dengan Gunung Kerinci, masih menjalankan aktivitasnya secara normal saat terjadi erupsi. Seperti peristiwa erupsi yang terjadi Juli 2019 itu, masyarakat tak melulu harus panik.
"Jangan melakukan sesuatu yang bikin alam murka," begitu petuah dari banyak tetua di Kayu Aro. Menurut Kartika, petuah ini memang masih sangat rasional dengan kondisi saat ini. Sehingga masyarakat di sana percaya Gunung Kerinci tak akan murka kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak ramah terhadapnya.
Petuah ini sampai sekarang masih terus diingatnya. Juga dengan tradisi sedekah bumi sehingga masyarakat di sana pun bisa meredam kepanikan saat terjadi erupsi.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi pada Pos Pengamatan Gunung Api Kerinci, Hendra mengatakan, Gunung Kerinci setiap tahun minimal satu kali mengalami erupsi. Gunung Kerinci, kata dia, sudah berulang kali mengalami erupsi. Namun, tidak pernah tercatat adanya letusan yang sangat menghancurkan.
Meski setiap tahun mengalami erupsi, namun kondisi di kaki Gunung Kerinci aman dan masyarakat masih beraktifitas normal seperti biasa.
"Bulan Juni 2019 lalu juga erupsi. Ini kejadian erupsi biasa dan hampir setiap tahun sekali memang erupsi," kata Hendra, 31 Juli 2019.
Advertisement
Riwayat Letusan Kerinci
Catatan sejarah yang dirangkum Badan Geologi, pertama kali letusan Gunung Kerinci yang kerap dijuluki sebagai atap Sumatra itu terjadi pada 1838.
Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Alam (ESDM) dalam sebuah tabel riwayat letusan Gunung Kerinci mencatat, pada tahun 1838 terjadi letusan di kawah pusat. Kemudian letusan dengan tipe yang sama juga terjadi pada tahun 1842 dan 1874.
Dalam tabel tersebut mencatat, erupsi freatik di kawah pusat Gunung Kerinci berulang kali terjadi, yakni pada tahun 1878, 1887, 1908, 1921, 1936, 1937, 1938, 1952, 1960, 1963, 1964, 1967, 1970.
Gunung Kerinci yang berbentuk stratovolcano masih menurut Badan Geologi, mempunyai karakter letusan bersifat eksplosif, diselingi dengan adanya aliran-aliran lava. Data geologi umumnya didominasi oleh aliran-aliran lava.
Sejak saat itu, Gunung Kerinci yang memiliki nama lain Peak of Indrapura itu sempat 'tertidur' cukup lama. Gunung Kerinci kembali bangun kembali pada tahun 1999 dan 2002, terkadang ada letusan abu tipis di sekitar puncak.
Kemudian berselang lama, pada tahun 2007 Gunung Kerinci dinaikan statusnya menjadi waspada level II. Status ini sampai sekarang masih berlaku untuk Gunung Kerinci yang berada di jajaran Bukit Barisan dan menjadi habibat harimau sumatera itu.
Pada 24 Maret 2008 antara pukul 11.40-12.25 WIB terjadi 1 kali letusan berwarna putih tebal kehitaman dengan tinggi asap maksimum 500 meter. Statusnya saat itu level waspada.
Usai berselang lama satu dekade, pada 31 Juli 2019 Gunung Kerinci mengalami erupsi dengan mengeluarkan abu kolom teramati mencapai 800 meter di atas puncak (4.605 meter di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas sedang.
"Karakter letusan Kerinci saat ini adalah letusan bertipe lemah yang hanya mengeluarkan material abu letusan, tidak ada data aliran lava yang tercatat sebagaimana tertera dalam sejarah letusannya," tulis Badan Geologi Kementerian ESDM itu.