Liputan6.com, Wuhan - Awalnya, nama Wei Guixian ada dalam daftar pasien pertama Corona COVID-19. Hari itu, 10 Desember 2019, ia merasa tak enak badan.
Mengiranya sebagai demam biasa, Wei pun berobat ke klinik. Setelah itu ia kembali berdagang di lapak makanan laut miliknya di Pasar Huanan, Wuhan, China.
Dan, seperti dikutip dari situs Wall Street Journal, delapan hari kemudian, perempuan 57 tahun itu terbaring di ranjang rumah sakit. Nyaris tak sadarkan diri. Apa yang awalnya dianggap sebagai sakit biasa ternyata sungguh serius.
Baca Juga
Advertisement
Ia tak sendirian, sejumlah orang, yang mayoritas pedagang di Pasar Huanan, juga mengalami hal serupa. Wei dan pasien lain terinfeksi Virus SARS-CoV-2, yang memicu penyakit yang belakangan diberi nama COVID-19. China diketahui baru melaporkan temuan penyakit baru itu ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 31 Desember 2019.
COVID-19, yang kali pertama terdeteksi China itu, kini menjalar ke 185 negara. Menjadi pandemi global. Data Johns Hopkins Coronavirus Resource Center pada Sabtu 21 Maret 2020 pukul 12.13 menyebut, ada 275.434 kasus yang terkonfirmasi, 11.399 korban jiwa, dan 88.256 lainnya dinyatakan pulih. Italia menggeser posisi China dalam jumlah kematian terbanyak, 4.032 dibanding 3.259.
Kini, para ilmuwan di dunia sedang berupaya menemukan vaksin dan obat untuk membendung dampak COVID-19, dari sistem kesehatan yang kolaps hingga krisis global di depan mata.
Dan, untuk menguak bagaimana asal mula penyebaran COVID-19 dan bagaimana mengatasinya, penelusuran sedang dilakukan demi menemukan 'Patient Zero' alias 'pasien 0'.
Istilah itu merujuk pada individu yang diidentifikasi sebagai pembawa (carrier) pertama terkait wabah yang sedang terjadi.
Simak video pilihan berikut:
Hasil Pelacakan Terbaru
Meski dilaporkan sebagai salah satu kasus pertama, Wei Guixian bukanlah Patient Zero.
Seperti dikutip dari situs South China Morning Post, berdasarkan dokumen pemerintah Tiongkok, kasus pertama COVID-19 bisa ditelusuri ke belakang hingga 17 November 2019.
Individu berusia 55 tahun asal Provinsi Hubei diduga menjadi orang pertama terpapar virus corona baru pada 17 November 2019.
Temuan itu sebulan lebih awal dari catatan dokter di Wuhan. Kala itu, otoritas kesehatan Tiongkok menduga virus berasal dari sesuatu yang dijual di Pasar Huanan Di sana, hewan-hewan liar diperdagangkan dalam satu lokasi.
Namun, hasil penelusuran terakhir menunjukkan, mereka yang diketahui sebagai yang paling awal terinfeksi tidak punya kaitan dengan Pasar Huanan. Termasuk, kasus yang dialami seorang individu pada 1 Desember 2019, demikian dilaporkan para peneliti pada 20 Januari 2020 dalam jurnal The Lancet.
Pasien yang terpapar Virus SARS-CoV-2 pada 1 Desember 2019 diketahui sebagai seorang pria lanjut usia.
Seperti dikutip dari BBC, Wu Wenjuan, seorang dokter senior di RS Jinyintan di Wuhan, sekaligus salah satu penulis studi dalam jurnal Lancet mengatakan, pasien tersebut diketahui juga mengalami Alzheimer.
"Pasien tinggal empat atau lima (halte) bus dari pasar seafood. Karena sakit, ia pada dasarnya tidak keluar rumah," kata Wu Wenjuan.
Meski kasus 17 November 2019 telah teridentifikasi, para ahli belum bisa memastikan bahwa individu tersebut adalah Patient Zero.
Sejak kasus pada 17 November itu, otoritas kesehatan di Tiongkok mencatat, sekitar satu hingga lima kasus baru dilaporkan setiap harinya. Dan, pada 15 Desember, total mencapai 27.
Kasus harian terpantau meningkat setelah itu, dengan jumlah kasus mencapai 60 pada 20 Desember 2019, demikian dilaporkan SCMP.
Pada 27 Desember, Dr Zhang Jixian, kepala departemen pernapasan di Rumah Sakit Provinsi Hubei, melaporkan kepada pejabat kesehatan di China bahwa virus corona baru, pada hari itu, telah menginfeksi lebih dari 180 orang.
Advertisement
Arti Penting Patient Zero
Kemajuan dalam analisis genetik saat ini memungkinkan para ahli melacak asal-usul virus melalui orang-orang yang telah terinfeksi.
Dikombinasikan dengan studi epidemiologi, para ilmuwan, juga bisa menentukan individu-individu yang mungkin merupakan orang pertama yang mulai menyebarkan sebuah penyakit dan memicu wabah.
Misalnya dalam kasus wabah Ebola pada tahun 2014 hingga 2016 di Afrika Barat.
Wabah tersebut adalah yang terbesar sejak virus pertama kali ditemukan pada tahun 1976, menewaskan lebih dari 11.000 orang dan menginfeksi lebih dari 28.000 lainnya di 10 negara, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Selain negara-negara Afrika, kasus positif Ebola juga dilaporkan di Amerika Serikat, Spanyol, Inggris dan Italia.
Para ilmuwan menyimpulkan, wabah strain atau jenis Ebola baru tersebut berawal dari satu individu: seorang bocah lelaki berusia 2 tahun dari Guinea. Ia diduga terinfeksi virus setelah bermain di pohon berlubang yang menjadi sarang koloni kelelawar.
Sebelum menerbitkan hasil temuannya, para ilmuwan melakukan pelacakan yang membawa mereka ke desa di mana bocah itu tinggal di Meliandou, mengambil sampel, dan mewawancarai penduduk setempat untuk menemukan sumber penularan penyakit.
Namun, Patient Zero yang paling terkenal adalah Mary Mallon, yang mendapat julukan 'Typhoid Mary' karena dilaporkan menyebabkan wabah demam tifoid di New York pada tahun 1906.
Berasal dari Irlandia, Mallon beremigrasi ke AS, di mana ia kemudian menjadi juru masak di sejumlah keluarga tajir di Kota Big Apple.
Kemudian, kasus tipes atau tifus dilaporkan terjadi di kalangan keluarga kaya di New York. Para dokter kemudian melakukan pelacakan dan menemukan Mallon sebagai sumbernya.
Dilaporkan bahwa di mana pun perempuan itu bekerja, anggota keluarga sang majikan mulai menunjukkan gejala demam tifoid.
Para ahli menyebut Mallon sebagai 'healthy carrier' atau individu yang terinfeksi oleh suatu penyakit tetapi menunjukkan sedikit atau tidak sama sekali gejalanya.
Dan ada bukti-bukti yang terus menguatkan bahwa sejumlah orang 'lebih efisien' di banding yang lain dalam hal menyebarkan virus tertentu. Mallon adalah salah satu kasus paling awal yang tercatat sebagai individu yang memiliki kemampuan tersebut, yang dikenal sebagai super-spreader atau penyebar super.
Seperti dikutip dari BBC, mengidentifikasi Patient Zero dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tentang bagaimana, kapan dan mengapa wabah bermula.
Hal tersebut juga kemudian dapat membantu mencegah lebih banyak orang terinfeksi saat ini atau dalam potensi wabah lainnya di masa depan.