Liputan6.com, Jakarta Dua puluh tahun sudah industri film Indonesia bangkit setelah mati suri di era 1990-an. Sineas Joko Anwar salah satu yang turut berjuang mengantar film Indonesia di titik cemerlang. Joko Anwar menyebut, era keemasan film Indonesia bisa dibilang terjadi pada 2018 dan 2019.
Pada kedua tahun itu, film Indonesia mampu menjual lebih dari 51 juta tiket ke penonton. Terbanyak dalam sejarah. Artinya, kata Joko Anwar, film Indonesia telah mendapat pengakuan dari penonton. Di sisi lain, ada sejumlah film anak negeri yang berlaga di sirkuit festival mancanegara.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan, dilirik distributor luar negeri untuk penjualan komersial. Jelang Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret 2020 nanti, Joko Anwar mengingatkan pencapaian ini mestinya tak membuat pekerja seni dan pencinta film silap mata. Bagaimana menjaga agar momen emas ini berkelanjutan?
Bukan Cuma Penulis Skenario
"Problem film Indonesia bukan cuma regenerasi penulis skenario yang mumpuni mengingat, penulisan naskah juga jadi problem di Hollywood. Jadi masalah industri film kita, tuh menyebar ke banyak lini termasuk produser, sutradara, hingga manajer lokasi syuting," ujar sang sutradara Pengabdi Setan dan Gundala.
Tumpukan masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika Indonesia memiliki lembaga pendidikan film yang kompeten. Sayang, jumlah lembaga pendidikan ini jika dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia sangat timpang.
Advertisement
Masalah SDM
Bersama dengan itu, industri film Indonesia tengah bergairah. "Yang terjadi kemudian, banyak SDM yang hadir di industri tanpa dibekali pengetahuan yang cukup," sambung Joko Anwar ketika dihubungi Showbiz Liputan6.com di Jakarta, Minggu (22/3/2020) malam.
Jika ini didiamkan, maka belum tentu film Indonesia bisa mengulang momen emas tahun 2018 dan 2019. "Di masa mendatang belum tentu terulang. Bisa jadi itu hanya fluke (kebetulan). Produser misalnya, harus bikin sistem kerja yang memadai," Joko Anwar menambahkan.
Munculnya Bioskop Baru
Bioskop juga mesti diperhatikan. Seperti diketahui, jumlah layar bioskop di Indonesia terus bertambah seiring munculnya pemain baru termasuk hadirnya bioskop nonjaringan. Selain XXI, ada CGV, NSC, Platinum Screen, Cinepolis, Flix Cinema, Kota Cinema, Lotte Cinema, dan masih banyak lagi.
Joko Anwar berharap, ke depan ada riset mendetail terkait potensi pasar di beberapa kota besar yang jumlah bioskopnya masih minim atau malah tak ada bioskop sama sekali. "Mengingat rasio jumlah layar dengan populasi penduduk negara kita juga masih timpang," ia menukas.
Advertisement
Peran Distributor
Hal lain yang dikritisi Joko Anwar, industri film Indonesia belum punya distributor. Rumah produksi membuat film sekaligus memperjuangkan agar karya mereka bisa mejeng di bioskop. Peran distributor penting, yakni mengurasi film mana yang layak dibeli lalu menjajakannya ke pihak bioskop.
"Di Indonesia, siapa saja istilahnya dapat akses menayangkan film di bioskop. Bioskop menampung karena tak mau dibilang tidak mendukung film dalam negeri. Akibatnya, banyak film yang kualitas dan estetikanya kurang namun bisa tayang. Padahal untuk ke bioskop, orang kan punya effort keluar rumah hingga keluar uang untuk beli tiket. Ini patut kita pikirkan untuk perkembangan industri film Indonesia ke depan," pungkasnya.