Liputan6.com, Jakarta Semenjak kasus virus corona (Covid-19) ada di Indonesia, ada banyak istilah baru yang mungkin sebagian dari Anda sudah pernah mendengar atau bahkan belum sama sekali mengetahuinya.
Seperti misalnya, apa itu immunocompetence? Secara ilmiah, seseorang yang immunocompetence berarti memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi dengan baik, sehingga tubuh mampu meningkatkan respons kekebalan yang tepat.
Advertisement
Seseorang bisa menjadi immunocompetence atau bisa juga immunocompromised (kebalikan immunocompetence, yaitu sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya), tetapi tidak bisa memiliki keduanya sekaligus.
Sistem Kekebalan Tubuh
Setiap individu memiliki sistem kekebalan tubuh yang kompleks dalam melindungi tubuh terhadap penyakit menular. Agar berfungsi dengan baik, sistem kekebalan tubuh harus mampu mengenali pengganggu asing (misalnya Patogen seperti bakteri, virus, dan parasit) dan mengirim pembela untuk melawan zat asing tersebut.
Karena patogen dapat dengan cepat berubah dan beradaptasi, mereka kadang-kadang dapat menghindari deteksi oleh sistem kekebalan tubuh. Ketika ini terjadi, Anda bisa merasa sakit, lemah dan mengalami kesulitan melawan penyakit yang telah mengambil alih tubuh Anda.
Untungnya, sistem kekebalan tubuh Anda memiliki banyak mekanisme pertahanan dan respons yang berbeda untuk mengenali dan menetralkan patogen. Sistem kekebalan Anda dapat merespons patogen dengan 2 cara:
- Respons imun yang dimediasi sel, di mana limfosit T (atau sel-T — sejenis sel darah putih) memainkan peran sentral dalam mengenali dan mengikat sel-sel tertentu seperti sel yang terinfeksi virus, sel dengan bakteri intraseluler, dan sel kanker yang menampilkan tumor antigen (antigen adalah protein yang ditemukan pada patogen).
- Respons imun humoral dari limfosit-B (atau Sel-B) dan sel plasma (sel darah putih yang mengeluarkan sejumlah besar antibodi) melindungi terhadap bakteri dan virus dalam cairan tubuh dengan "mengingat" penyerbu dan memproduksi antibodi untuk melawan mereka (ini adalah bagaimana Anda membangun kekebalan terhadap beberapa virus setelah menerima vaksin untuk virus tertentu).
Ketika sel T dan sel B berikatan dengan antigen yang dikenali, mereka menjadi immunocompetence penuh.
Simak Video Berikut Ini:
Bagaimana Jika Anda immunocompromised?
Kebalikan dari immunocompetence adalah imunokompromis (immunocompromised) atau imunodefisiensi atau imuno-inkompeten. Istilah-istilah tersebut semuanya menggambarkan sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi penuh dengan cara-cara berikut, mengutip dari verywellhealth:
- Imunodefisiensi: misalnya pada bayi baru lahir yang sistem kekebalan tubuhnya belum berfungsi penuh, tetapi mungkin memiliki antibodi dari ibunya.
- Imun-inkompeten: misalnya pada pasien kanker yang sistem kekebalannya mengalami penurunan. Sehingga dokter biasanya merekomendasikan orang terdekat pasien untuk vaksinasi serangkaian penyakit umum.
- imunokompromis: misalnya pada pasien transplantasi yang harus minum obat penurun imun agar tubuh tidak menolak organ yang disumbangkan.
Dalam kasus virus corona saat ini, peneliti dari University of Melbourne di Peter Doherty Institute for Infection and Immunity di Australia telah memaparkan bagaimana sistem imun manusia meningkatkan responsnya terhadap Covid-19. Dan ada kemungkinan orang yang sistem imunnya bagus hanya mengalami gejala ringan hingga sedang dan sembuh lebih cepat daripada umumnya.
Prof. Katherine Kedzierska, teman penulis penelitian mengatakan, "meskipun Covid-19 disebabkan oleh virus baru, namun pada orang orang yang sehat, dengan sistem imun yang kuat terkait pemulihan, mirip dengan kasus influenza."
"Untuk mendorong pemulihan Covid-19, orang-orang dapat menggunakan metode kami untuk memahami tanggapan sistem imun dalam kohort (laporan) Covid-19 berskala besar, serta memahami kekurangan yang ada," tambahnya.
Dalam penelitian, ia mencari kriteria orang yang dirawat setelah 4 hari timbul gejala infeksi Covid-19, termasuk lesu, sakit tenggorokan, batuk kering, nyeri dada pleuritik, napas pendek, dan demam. Juga mereka yang dibolehkan isolasi diri di rumah, dan pada hari ke-13 gejala mereka dinyatakan hilang.
Dalam studi mereka, para peneliti menganalisis sampel darah yang dikumpulkan oleh para profesional kesehatan dari pasien pada empat kesempatan berbeda: pada hari ke 7, 8, 9, dan 20 setelah onset gejala.
“Kami melihat luasnya respons imun pada pasien ini menggunakan pengetahuan yang telah kami bangun selama bertahun-tahun dalam melihat respon imun pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan influenza,” jelas rekan penulis penelitian Dr. Oanh Nguyen.
Dari studi tersebut, mereka menemukan, ada peningkatan imunoglobulin (merupakan jenis antibodi yang paling umum) yang bergegas untuk melawan virus, selama hari 7-9 setelah onset gejala.
Peningkatan imunoglobulin ini bertahan hingga hari ke 20 setelah onset gejala, menurut analisis.
Pada hari ke 7–9 setelah onset gejala, sejumlah besar sel T pembantu khusus, sel T pembunuh, dan sel B - yang semuanya merupakan sel imun penting - juga aktif dalam sampel darah pasien.
Dari temuan ini, peneliti berharap dapat dilakukan penelitian lebih luas secara global untuk lebih memahami bagaimana orang dapat meninggal akibat Covid-19, serta membangun pengetahuan untuk merespons Covid-19 kedepannya dan virus-virus baru lainnya nanti." ujar Dr. Irani Thevarajan.
Advertisement
Bagaimana dengan carrier (pembawa virus)?
Para peneliti sudah biasa menemui pasien Covid-19 dengan gejala mirip flu. Mereka yang asimptomatik (tanpa gejala) namun juga positif Covid-19 biasanya disebut carrier (pembawa virus).
Bagaimana pun, WHO mengklasifikasikan setiap orang yang hasil tesnya positif Covid-19 sebagai confirmed cases meskipun mereka tidak memiliki gejala.
Korea Selatan juga menggunakan sistem ini. Namun, pemerintah China mengganti panduan klasifikasi ini pada 7 Februari yaitu hanya pasien dengan gejala yang dikonfirmasi. Sedangkan Amerika Serikat, Inggris, dan Italia bahkan sama sekali tidak mengetes orang tanpa gejala, selain tenaga medis yang telah lama terpapar virus.
Ironisnya, seperti dimuat laman South China Morning Post, terdapat lebih dari 20% kasus asimptomatik dari Korea Selatan, lebih dari 30% kasus asimptomatik dari Jepang, sebagaimana di China. Setiap pasien Covid-19 asimptomatik ini biasanya mengalami gejala hanya selama 5 hari, meskipun masa inkubasinya dalam beberapa kasus bisa selama hampir 3 minggu.
Misalnya saja di Diamond Princess, dari 712 yang dinyatakan positif, 334 diantaranya merupakan asimptomatik. Di Hong Kong, 16 dari 138 kasus yang dikonfirmasikan pada 14 Maret tidak menunjukkan gejala, menurut Ho Pak-leung, seorang profesor di departemen mikrobiologi Universitas Hong Kong.
Semua angka ini menunjukkan rasio kasus asimptomatik yang jauh lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh data yang dirilis secara publik oleh China sejauh ini. Ada 889 pasien tanpa gejala di antara 44.672 kasus yang dikonfirmasi per 11 Februari, tulis epidemiolog dari CDC di JAMA Network Open pada 24 Februari.
Sebuah studi terpisah oleh para ilmuwan dari University of Texas di Austin, Texas, memperkirakan bahwa orang yang belum menunjukkan gejala, berisiko menularkan sekitar 10% dari 450 kasus yang mereka pelajari di 93 kota Cina. Temuan mereka sedang menunggu publikasi di jurnal Emerging Infectious Diseases.
Ho dari University of Hong Kong mengatakan beberapa pasien tanpa gejala memiliki viral load (aran jumlah partikel virus dan jumlah RNA HIV per 1 ml sampel darah) yang serupa dengan mereka yang memiliki gejala.
“Tentu saja sulit untuk mengatakan apakah mereka mungkin kurang menular jika mereka tidak batuk. Tetapi ada juga droplet saat Anda berbicara,” katanya, merujuk pada bagaimana virus pernapasan ditransmisikan.
Benjamin Cowling, seorang profesor epidemiologi dan biostatistik di University of Hong Kong, mengatakan ada "bukti yang jelas bahwa orang yang terinfeksi dapat menularkan infeksi sebelum gejala muncul".
"Ada banyak laporan penularan sekitar 1-2 hari sebelum timbulnya gejala," katanya. Pemahaman yang lebih baik tentang kasus asimptomatik dapat mengarah pada penyesuaian kebijakan kesehatan masyarakat, kata para ahli.
"Rasio asimptomatik bisa lebih tinggi di antara anak-anak daripada orang dewasa yang lebih tua," tulis Nishiura dalam International Journal of Infectious Diseases. "Itu akan sangat mengubah ruang lingkup wabah, dan bahkan mencapai intervensi yang optimal," pungkas Cowling.