Jakarta - Virus Corona COVID-19 memaksa kegiatan keagamaan di dunia ikut beradaptasi lantaran larangan perkumpulan massa.
Hari-hari ini keuskupan dan gereja di seluruh dunia ramai-ramai membatalkan acara keagamaan. Sinagoga di Amerika Serikat dan Eropa menutup pintu. Festival Purim umat Yahudi yang biasanya berlangsung ramai dan meriah layaknya karnaval, kali ini hanya dirayakan separuh hati. Hal serupa bisa diamati pada perayaan Holi oleh umat Hindu di India.
Dewan Sentral Muslim di Jerman juga secara resmi mengumumkan pengurus masjid "diizinkan" untuk "membatalkan ibadah salat Jumat atau kegiatan salat berjamaah lain atas alasan pencegahan wabah atau adanya dugaan penularan virus."
Soal ini, Mouhanad Khorchide, seorang intelektual Islam Jerman, meminta umat Islam merujuk pada penutupan Kabah di Mekkah. “Itu adalah kebijakan paling dramatis yang bisa diambil dan menunjukkan betapa besar tanggungjawab dan betapa serius masalahnya,” kata dia seperti dikutip dari DW Indonesia, Senin (23/3/2020).
Baca Juga
Advertisement
Di tengah wabah Corona, masjid, gereja, sinagoga, kuil dan wihara harus beradaptasi dan mengubah tradisi.
Melalui ritual dan seremoni, agama mendefinisikan diri lewat kebersamaan dan spiritualitas. Mencium batu suci, gulungan Taurat, buku doa dan salib, atau menengguk minuman dari cawan yang sama, adalah contoh kebiasaan yang kini harus dihentikan untuk sementara waktu.
Sebab itu Basilika Santo Petrus ditutup sepenuhnya untuk pengunjung. Gereja-gereja besar seperti Santo Stefanus di Vienna mengurangi akses jemaah secara drastis. Israel membatasi jumlah pengunjung ke sinagoga dan peziarah berhenti mencium benda-benda sakral.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Mengacuhkan Bencana
Peneliti krisis, Frank Roselieb mengakui kebijakan gereja sudah tepat. Mereka memiliki tanggungjawab terhadap jemaatnya sendiri, kata dia. Analisa risiko yang dia gunakan sudah sesuai dengan kritera yang ditetapkan Robert Koch Institute di Jerman.
Paus Fransiskus akhirnya memberikan pemberkatan Paskah di depan lapangan Basilka Santo Petrus yang kosong melompong.
Dalam beberapa kasus, agama ikut mempercepat penyebaran virus. Di Korea Selatan, sikap abai sebuah sekte Kristen yang tetap menggelar misa meski telah diingatkan pemerintah memicu kenaikan drastis angka pasien.
Hal serupa diamati di kota suci Qom, Iran, tempat berkumpulnya santri dan mahasiswa dari seluruh dunia, ketika makam suci dan tempat ziarah lain dibiarkan dibuka dan wabah akhirnya merajalela. Para Ayatollah dan mullah sempat menolak karantina dan bahkan mendesak pemerintah menutupi kabar negatif terkait eskalasi wabah kepada penduduk.
Lain halnya dengan tokoh muslim di Eropa. Khorchide misalnya menilai para imam sudah “berperan sangat positif,” saat dini mengimbau jemaah agar tidak bersalaman dan meningkatkan kesadaran perihal bahaya Corona bagi kaum manula.
Advertisement
Tanda Kiamat?
Para intelektual muslim di Eropa pun menyadari kemunculan wabah lain, yakni ragam teori konspirasi seputar virus Corona. Khorchide menyindir sejumlah ulama di “negara-negara selatan”, yang menyebut bencana kesehatan itu sebagai “ganjaran Ilahi.”
Menurutnya fenomena tersebut sebagai “penyalahgunaan otoritas seorang pemuka agama.”
Tapi jika sebagian rajin mengolah teori, yang lain sibuk bersikap acuh terhadap ancaman virus. Hal ini bisa disimak pada kaum Katolik kanan di Eropa dan Italia. Kedua komunitas tidak hanya melecehkan larangan berkumpul dan social distancing, tetapi juga secara terbuka menggelorakan gerakan misa bawah tanah layaknya perlawanan gereja di era Komunisme.
Meski mengakui dampak destruktif sikap semacam itu, peneliti krisis, Roselieb juga mewanti-wanti terhadap pandangan apokaliptisme.
Menurutnya pengaruh institut keagamaan sedemikian kuat, keterlibatan pemuka agama pada diskurs nasional seputar wabah Corona hanya akan memberikan “legitimasi” terhadap klaim akhir zaman.
Nanun juga eskalasi wabah “yang dramatis ikut memicu Paus Fransiskus untuk berkomentar,” akunya.
Dia melihat adanya tendensi untuk “membumbui isu Corona” dengan skenario akhir zaman, “bukan oleh komunitas agama sendiri, melainkan oleh penganut teori konspirasi.” Dan fenomena ini pula yang terjadi di penghujung abad silam, jauh sebelum era media sosial atau berita hoaks.