Liputan6.com, Jakarta - Jumlah masyarakat yang teridikasi Covid-19 atau virus corona terus bertambah. Per 23 Maret 2020 saja, total ada 579 orang yang dinyatakan positif corona.
Pakar Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid menilai Presiden Jokowi perlu membuat langkah konkret yang diikat dengan aturan yang jelas, salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pandemi virus corona. Menurut Fahri Bachmid Perppu sangat urgen untuk mengatasi virus yang berasal dari Wuhan, China itu.
Advertisement
"Saatnya Presiden mempertimbangkan opsi state of emergency sesuai Prinsip “necessity”. Perppu itu untuk situasi darurat karena virus corona ini," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/3/2020).
Menurut Fahri Bachmid, materi muatan Perppu yang dianggap cakupannya sangat holistik serta teknis, baik pada lapangan penanganan Covid-19, maupun pada aspek ekonomi, fiskal, serta ketatanegaraan.
Menurut Fahri Perppu ini nantinya harus diatur secara cermat dan sistemik seperti pengaturan harmonisasi UU No. 4/1984 tentang wabah penyakit menular dan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini penting agar pencegahan penanganan Covid-19 dapat berjalan sistematis.
"Hal yang perlu diatur dalam soal ini termasuk masih belum adanya peraturan pelaksana (PP) terkait implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti aturan memaksa serta sanksi “social distancing” dan lain-lain, untuk pengaturan sanksi “social distancing” agar mempunyai daya memaksa, maka idealnya diatur dalam UU," papar Fahri Bachmid.
Fahri mengatakan, pada aspek ketatanegaraan, jika dalam keadaan darurat karena Covid-19 Perppu tersebut juga nantinya untuk mengatur penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 23 september 2020.
"Karena hal tersebut tidak cukup diatur dengan dasar hukum berupa Keputusan KPU atau semacam edaran. Ini membutuhkan produk hukum setingkat UU," tandas Fahri Bachmid.
Selain itu, Fahri menambahkan bahwa Perppu tersebut juga sebagai Pengaturan tentang merombak postur APBN, yaitu Perppu APBN 2020.
Menurut dia, hal ini mendesak dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nasional saat ini, dengan prioritas untuk mengarahkan seluruh “resourcing”/sumberdaya nasional yang ada untuk mengatasi Covid-19, termasuk mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar.
"Hal ini penting mengingat jangan sampai DPR tidak dapat melaksanakan tugas konstitusional secara normal karena tidak bisa malakukan rapat serta sidang paripurna secara normal," tukasnya.
Materi Perppu, disebutkan Fahri, juga memuat Pengaturan tentang mengamankan ketersediaan logistik obat, desinfektan, handsanitizer, serta alat-alat kesehatan lainya, menjamin ketersediaan tenaga medis, volunter, memberikan sanksi hukum bagi semua pihak baik perorangan maupun badan hukum yang secara sengaja mencegah, merintangi ataupun menggagalkan upaya penanggulangan penyebaran Covid-19.
"Perppu juga mengatur tentang pemberian sanksi hukum yang tegas kepada setiap orang/badan hukum yang secara sengaja menimbun, menguasai alat-alat kesehatan, serta mengatur tentang ketersediaan distribusi dan subsidi bahan pokok dari kelangkaan yang disebabkan oleh “panic buying” papar Fahri Bachmid.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tetapkan Keadaan Darurat
Fahri pun mendorong Presiden Jokowi segera menetapkan status keadaan bahaya atau darurat nasional. Memang ada konsekwensi secara hukum tata negara jika presiden sebagai “head of state” meng “declare” keadaan darurat nasional.
Ini, menurut Fahri, memungkinkan pemerintah untuk mengubah peraturan tertentu agar diorientasikan untuk mengatasi pendemi. "Secara derivatif perlu disediakan fasilitas hukum yang memadai untuk menerobos dan bekerja secara efektif dalam keadaan serta situasi genting seperti saat ini," katanya.
Menurut dia, sudah saatnya presiden mempertimbangkan opsi keadaan bahaya sesuai dengan “doktrin proportional necessity” dan self-preservation. Dalam ajaran hukum tata negara, ada beberapa ancaman variasi ancaman keadaan yang berhabahaya. Seperti bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang dasyat atau semacam wabah penyakit atau pendemi yang menimbulkan kepanikan.
"Keadaan seperti ini tercakup dalam pengertian keadaan darurat sipil yang dapat disebut sebagai “walfare emergencies”. Dengan demikian maka presiden dapat menggunakan situasi materil seperti itu untuk menggunakan kewenangan konstitusional eksklusivnya dalam mengatasi keadaan objektif nasional saat ini," katanya.
Menurut Fahri Bachmid, prinsip “necessity” atau prinsip adanya Keperluan yaitu mengakui hak setiap negara yang berdaulat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara.
Untuk kepentingan itu, menurut Fahri, maka hakikatnya adalah keadaan bahaya. Dengan begitu, sistem norma yang dipakai adalah dalam keadaan bahaya atau darurat maka norma hukum biasa tidak dapat diterapkan untuk mengatasi keadaan yang tidak normal” state of exeption”, sehingga diperlukan norma hukum khusus agar kekuasaan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk mengatasi Covid-19 ini.
"Maka materinya dimaksudkan agar dapat mengatasi keadaan tidak normal itu, bersifat sementara sampai keadaan darurat itu berahir, dituangkan dalam bentuk hukum yang tersendiri dan spesifik," katanya.
Advertisement