Pagi yang Manis Bersama Para Pengolah Tebu di Lawang

Saka, begitu mereka menyebutnya, perasan air tebu yang disulap menjadi gula merah. Sebuah kearifan lokal yang masih lestari di Lawang, Agam, Sumbar.

oleh Novia Harlina diperbarui 27 Mar 2020, 06:00 WIB
Pengolahan saka di Lawang kebanyakan masih menggunakan cara tradisional, yang dengan tungku dan kuali besar. Cetakan saka juga sederhana sekali, yakni terbuat dari kayu yang sudah diberi lubang seperti congklak. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Agam - Pagi itu, dingin masih menyelimuti dataran tinggi Lawang di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Namun aktivitas petani tebu sudah mulai menggeliat, mereka bukan menanam tebu tetapi mengolahnya menjadi gula merah atau masyarakat Minang menyebutnya 'saka'.

Pengolahan saka di Lawang kebanyakan masih menggunakan cara tradisional, yang dengan tungku dan kuali besar. Cetakan saka juga sederhana sekali, yakni terbuat dari kayu yang sudah diberi lubang seperti congklak.

Saat Liputan6.com berkunjung, kabut masih terlihat jelas di antara pucuk-pucuk tebu di ladang petani. Dingin tak membuat suasa menjadi kaku, hangatnya sambutan masyarakat mencairkan suasana.

Beruntung kami bisa melihat langsung proses pembuatan saka dari masih berbentuk tebu sampai menjadi saka. Proses yang cukup lama untuk merasakan manisnya saka.

Dulu proses penggilingan tebu untuk memeras airnya, petani menggunakan kerbau. Di pundak kerbau diletakkan sebuah kayu yang dihubungkan ke penggiling tebu kemudian mata kerbau ditutup menggunakan tempurung kelapa lalu diikat dengan kain, agar kerbau patuh dan terus berjalan berputar.

Lalu di bawah penggiling tebu diletakan sebuah wadah untuk menampung air tebu, hanya saja saat ini sudah jarang dijumpai petani yang menggunakan kerbau ini seiring perkembangan teknologi.

Rata-rata petani tebu di Lawang sudah menggunakan mesin untuk memeras air tebu, selain hasilnya lebih maksimal, waktu yang digunakan juga lebih singkat.

Setelah air tebu di peras, proses selanjutnya dimasak menggunakan tungku dan kuali besar kurang lebih 3 jam hingga mengental. Letupan kayu bakar di tungku turut membakar semangat menyaksikan proses pembuatan saka ini.

Jika sudah mengental dan berwarna kecoklatan saka setengah jadi itu dipindah ke wadah kemudian dimasukkan ke dalam cetakan kayu.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:


Potensi Wisata Lawang

Pengolahan tebu menjadi saka di Lawang masih menggunakan cara-cara tradisional. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Asrul (58), salah seorang petani tebu di Lawang mengatakan, harga tebu di tingkat petani Rp14 ribu per kilogram dan dipasarkan ke beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, kemudian juga mengisi stok di Sumbar.

"Untuk produksi kadang tidak menentu, tergantung stok tebu," kata dia.

Hingga saat ini produksi saka di Lawang masih industri rumah tangga. Ia berharap ke depan pemasaran saka lebih luas lagi diimbangi dengan pendampingan dari pemerintah.

"Untuk membuat kemasan yang menarik dan pemasaran secara luas merambah secara online kami belum bisa," katanya.

Berdasarkan data Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Sumbar, Kabupaten Agam merupakan daerah sentral tebu yakni seluas 4.000 hektare dengan produksi 15.655 ton per tahun.

Salah seorang wisatawan asal Medan, Mica Nasution yang berkunjung ke Lawang juga ikut mencoba membuat saka. Mica menganggap, proses pembuatan saka bisa menjadi wisata edukasi alternatif yang mampu memperkenalkan anak-anak kepada kebudayaan dan kearifan lokal setempat.

"Pasti banyak orang yang ingin melihat langsung proses seperti ini," ungkapnya.

Bahkan tak hanya itu, di Lawang juga ada destinasi wisata alam hits dengan panorama pemandangan alam yang luar biasa indah, yaitu Puncak Lawang. Dari Puncak Lawang Anda dapat melihat keindahan Danu Maninjau dari ketinggiaan. Indah dan menyejukkan hati serta pikiran.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya