Liputan6.com, Jakarta - Ketidakpastian kondisi ekonomi global membuat stabilisasi pasar keuangan goyah. Masyarakat panik, bagaimana bisa nilai tukar rupiah melonjak tajam hingga menyentuh angka Rp 16.550 (per dolar AS)? Apakah akan terjadi krisis moneter seperti tahun 1998 dan 2008?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan bahwa kondisi volatilitas di pasar keuangan serta kondisi ekonomi secara keseluruhan sangat berbeda dengan apa yang dihadapi dunia belasan tahun silam.
Advertisement
"Yang terjadi sekarang ini masalah pandemi Covid-19, yang eskalasinya luar biasa. Kita lihat di Italia jumlah yang meninggal lebih banyak dari di China," jelas Perry saat melakukan konferensi pers lewat siaran langsung, Kamis (26/3/2020).
Lanjut Perry, investor asing mengalami kepanikan karena negara-negara yang terdampak Corona mengalami kematian yang jumlahnya meningkat setiap waktu. Akhirnya, mereka menarik aset mereka keluar.
Perry kemudian menjelaskan bahwa pelemahan nilai rupiah yang terjadi saat ini juga berbeda eskalasinya dibandingkan tahun 1998.
"Mohon maaf, yang membandingkan nilai tukar rupiah sekarang dengan saat krisis 1998, bahwa dulu itu rupiah naik ke Rp 16 ribu dari yang awalnya Rp 2.500 (per dolar AS). Naiknya hampir 8 kali lipat. Sementara yang sekarang, ke Rp 16 ribu itu dari Rp 13.800," jelas Gubernur BI.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perbankan Jauh Lebih Kuat
Perry juga mengingatkan bahwa sistem perbankan Indonesia saat ini jauh lebih kuat. Oleh karenanya, BI akan terus memperkuat kebijakannya untuk memitigasi dampak Corona ke stabilitas ekonomi dan pasar keuangan Indonesia.
"Kami menekankan kembali BI akan menggunakan berbagai instrumen moneter, pasar, dan lainnya untuk bersama koordinasi Kementerian Keuangan, OJK, LPS dan lainnya untuk stabilisasi dampak negatif covid-19," tutup Perry.
Advertisement