Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah data menunjukkan, tingkat kematian akibat Virus Corona COVID-19 pada pria lebih tinggi dibanding wanita. Para ilmuwan pun mencoba menguak alasan di balik itu.
Ketika berbicara dalam taklimat harian yang digelar di Gedung Putih, Dr. Deborah Birx, Direktur Gugus Tugas COVID-19 Gedung Putih, memaparkan sebuah laporan dari Italia yang menunjukkan tingkat kematian pria dari hampir seluruh kelompok usia lebih tinggi dibandingkan wanita. Dia menyebut fenomena itu sebagai "tren yang meresahkan."
Advertisement
Menurut otoritas kesehatan Italia, pria menguasai 58 persen dari seluruh 13.882 kasus Virus Corona COVID-19 di negara tersebut antara 21 Februari hingga 12 Maret, serta 72 persen dari 803 kematian yang dilaporkan.
Pasien pria yang terjangkit Virus Corona COVID-19 dan dirawat di rumah sakit 75 persen lebih mungkin meninggal dibandingkan pasien wanita yang menjalani perawatan serupa.
Selain kondisi kesehatan yang secara umum buruk dan kebiasaan seperti merokok dan minum minuman keras yang dapat merusak paru-paru di kalangan pria, sejumlah ilmuwan terkemuka mengungkap, pengaruh hormon terhadap respons kekebalan tubuh kemungkinan juga memainkan peran penting dalam fenomena ini.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penyakit Terselubung
Data dari beberapa negara lainnya juga menunjukkan bahwa kematian akibat COVID-19 lebih banyak terjadi pada pria ketimbang wanita. Sebuah laporan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengindikasikan tingkat mortalitas di kalangan pria yang dikonfirmasi terinfeksi COVID-19 sekitar 65 persen lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian di kalangan wanita.
Berbagai kebiasaan tidak sehat, seperti merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol, lebih sering dilakukan pria dibandingkan wanita. Kebiasaan-kebiasaan itu dapat merusak paru-paru dan mengakibatkan peradangan ketika melawan infeksi, kata sejumlah pakar.
Pria cenderung memiliki lebih banyak penyakit terselubung, seperti hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit paru-paru kronis, menurut Global Health 50/50, sebuah institut penelitian yang mempelajari ketidaksetaraan gender di bidang kesehatan global.
"Meski sejumlah faktor lain yang dapat memicu infeksi parah, seperti riwayat merokok dan penyakit jantung, juga berbeda pada pria dan wanita, sistem imun diketahui berfungsi dengan cara yang berbeda pada tubuh keduanya (pria dan wanita)," papar Susan Kovats, ahli imunologi dan mikrobiologi dari Yayasan Penelitian Medis Oklahoma (Oklahoma Medical Research Foundation), seperti dilansir Xinhua, Kamis (26/3/2020).
Advertisement
Pengaruh Interferon
Perbedaan terkait gender dalam tingkat kemunculan dan keparahan infeksi virus pernapasan terlihat jelas pada manusia dan tikus percobaan, serta sejalan dengan perbedaan dalam hal aktivitas sel imun, imbuh Susan.
"Sel-sel imun mampu merespons hormon estrogen dan testosteron, yang mengindikasikan perbedaan kadar hormon-hormon ini pada pria dan wanita mungkin saja berperan dalam respons imun mereka yang berbeda," papar Susan.
Ketika merespons beberapa virus, jika dibandingkan dengan sel-sel pria, sel-sel pada tubuh wanita memproduksi protein yang disebut "interferon" dengan level lebih tinggi. Interferon merupakan bagian penting dari respons imun bawaan awal. Protein tersebut memicu aliran protein yang secara langsung bersifat antivirus dan bertindak untuk meredakan penyebaran virus, menurut Kovats.
"Bukti memang menunjukkan bahwa produksi interferon didukung oleh estrogen. Dalam infeksi virus pernapasan, kapasitas yang lebih besar untuk memproduksi interferon dapat membantu meredakan penyebaran virus dan kerusakan paru-paru pada wanita," tuturnya.
Bersifat Hormonal
Dr. Stanley Perlman, profesor mikrobiologi dan imunologi dari Universitas Iowa, mempelajari sejumlah tikus jantan dan betina yang terinfeksi beberapa jenis Virus Corona, yaitu Virus Corona pemicu sindrom pernapasan akut berat (severe acute respiratory syndrome/SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (Middle East respiratory syndrome/MERS).
Dia menemukan, tikus-tikus jantan lebih rentan terinfeksi dibandingkan tikus betina di segala usia.
"Eksperimen-eksperimen yang kami lakukan pada tikus mengindikasikan bahwa hal ini sebagian bersifat hormonal. Jika kita menghilangkan estrogen dari tikus-tikus itu, mereka (tikus betina) akan sama sensitifnya terhadap SARS-CoV dengan tikus jantan," kata Perlman.
Respons imun antara pria dan wanita kemungkinan berkaitan dengan hormon, tetapi masih belum dipahami dengan baik, kata Kent Pinkerton, profesor dari Fakultas Kedokteran Universitas California Davis.
Jika para ilmuwan berhasil mengungkap cara kerjanya, mereka dapat mengidentifikasi strategi yang lebih baik untuk melawan infeksi coronavirussecara umum.
Advertisement