Liputan6.com, Jakarta - Adalah Edwina Hart, kontributor Lonely Planet yang tak merencanakan karantina di Antartika saat pandemi corona COVID-19. Mengutip laman Lonely Planet, Kamis, 26 Maret 2020, saat naik ke kapal pesiar di Chili, Hart sudah mempersiapkan diri untuk petualangan tak terduga.
Tapi, imajinasi paling liarnya tak pernah tentang terjebak dalam pelayaran, lantaran banyak negara di Amerika Selatan menutup batas wilayah mereka akibat pandemi. Hart melaporkan bahwa posisi terakhirnya berada di perairan Kepulauan Falkland, sedang menunggu kebijakan pemulangan.
"Saya bepergian sendiri di kapal pesiar baru Hurtigruten yang sengaja dibuat untuk mengeksplorasi wilayah kutub. Setelah berangkat dari Chili, kami menghabiskan waktu ditemani ketenangan absolut, berlayar menuju selatan lingkar Antartika," Hart memulai cerita.
Baca Juga
Advertisement
Mulai dari kayaking di antara megah bongkahan es, melihat pantulan diri di air sebening kristal, hingga menepi di Pelabuhan Yankee untuk disambut kawanan penguin, semua agenda berjalan mulus, indahnya bahkan melebihi ekspektasi.
"Saat kami bersiap berangkat ke Antartika 18 hari lalu, tercatat ada satu konfirmasi kasus COVID-19 di Amerika Selatan. Tapi, saat kami kembali ke Punta Arenas, wabah kian meluas. Alhasil, banyak perbatasan yang ditutup," imbuhnya.
Kapal pesiarnya dijadwalkan menepi pada 15 Maret dan, terlepas dari semua spekulasi bahwa Chili akan menutup semua pelabuhan bagi kapal pesiar, Hart dan penumpang lain tetap optimis. "Lagipula, setelah ini kami pikir kami harus melakukan 14 hari isolasi mandiri untuk memastikan status kesehatan kami," ucapnya.
Tapi, semangat yang semula masih nyala seketika padam ketika kapal pesiar dari Antartika itu tak mendapat izin berlabuh. "Dengan lebih dari 400 penumpang ditelantarkan, kami mengabiskan beberapa hari di pesisir Chili," katanya.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saling Jaga Semangat
Melihat situasi tersebut, Kapten Torry Sakkariassen mengumumkan bahwa mereka akan kembali ke Falkland untuk menepi di Stanley. Kesempatan terbaik mereka untuk pulang adalah berlayar secepat mungkin ke selatan menuju teritori laut Inggris.
"Harapannya, kami diizinkan menepi dan menyewa penerbangan pulang dari bandar udara militer," kata Hart. Rencana ini membuat mereka harus berlayar menuju salah satu laut paling ganas di dunia.
"Dari balkon, laut terlihat seperti mesin cuci raksasa. Beberapa orang mengatakan bahwa Drake Passage adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai Antartika. Bagi kami, berlayar menerjang ombak setinggi delapan meter adalah tentang pulang," ucapnya.
Berada di kapal pesiar tanpa konfirmasi kapan dan bagaimana akan pulang bukanlah situasi ideal. Hart dan penumpang lainnya punya pilihan untuk menangis seharian di kabin atau memanfaatkan waktu menikmati pesisir Norwegia yang menawan.
"Jadi, saya bersama penumpang lain malah dengan seru memerhatikan kehidupan hewan Antartika. Yoga di pagi hari atau berlari di sekitar deck atas kapal. Bermain gim yang memupuk kekompakkan pun kami lakukan," ucapnya.
Mereka hanya berusaha semaksimal mungkin menikmati setiap pemandangan menakjubkan di depan mata. "Makan makanan enak yang membangkitkan mood. Lalu, para petugas kapal juga dengan baik hati berbagi cerita perjalanan mereka dengan kami," papar Hart.
Mereka disebutkan akan berlayar di sekitar Falkands untuk beberapa hari ke depan hingga nantinya diberikan izin menepi. Selama itu, sebisa mungkin kapten, petugas kapal, dan penumpang akan memberi suntikan semangat bagi satu sama lain.
"Menjaga satu sama lain, juga terus membuat semua orang sibuk jadi sangat penting di situasi seperti sekarang," ujar sang kapten.
Advertisement