Hari Film Nasional, 6 Sutradara Top Ini Ungkap Masalah Industri Layar Lebar Indonesia

Sambut Hari Film Nasional, sutradara Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Riri Riza, Upi, Fajar Nugros, dan Ernest Prakasa beberkan masalah industri layar lebar dari perspektif mereka. Simaklah.

oleh Wayan Diananto diperbarui 29 Mar 2020, 06:00 WIB
Ilustrasi bioskop. (Foto: atas perkenan Deri Irawan Cinema XXI)

Liputan6.com, Jakarta Pada 30 Maret, para pencinta film di Tanah Air memperingati Hari Film Nasional. Sejak film Pertualangan Sherina mencetak box office pada 2000, industri layar lebar Indonesia terus bergairah.

Hari Film Nasional tahun ini sekaligus menandai 20 tahun bangkitnya layar lebar Indonesia. Meski demikian, sejumlah sineas Tanah Air menyebut ada catatan yang mesti dibenahi di industri ini. Merayakan Hari Film Nasional, Showbiz Liputan6.com mewawancarai 6 sineas Indonesia yang berkontribusi mencetak box office dan melahirkan film-film berkualitas.

Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Riri Riza, Upi, Fajar Nugros, dan Ernest Prakasa membeberkan masing-masing satu masalah yang harus segera ditindaklanjuti agar industri film domestik makin maju. Selamat menyimak dan selamat Hari Film Nasional.


1. Joko Anwar: Sekolah Film

Joko Anwar. (Foto: Instagram @jokoanwar)

Joko Anwar menyebut sekolah film kebutuhan yang sangat mendesak. Jumlahnya di Indonesia masih sangat minim. “Karenanya, jangan hanya mengandalkan pemerintah. Harus ada lembaga pendidikan formal maupun nonformal untuk melatih mereka yang punya bakat atau minat besar di industri layar lebar. Kalau perlu rumah produksi menciptakan sistem pendidikan untuk merekrut mereka yang punya potensi besar,” ia mengusulkan.

Sekilas Tentang Joko: Namanya mulai dikenal publik setelah menulis naskah Arisan!, film terbaik FFI 2004. Karier Joko meroket salah satunya berkat memproduksi Pengabdi Setan (2017) yang meneror 4,2 juta penonton. Di tangan Joko Anwar, Pengabdi Setan menjadi film horor terlaris sepanjang sejarah. Dalam semalam, Pengabdi Setan membawa pulang 7 Piala Citra di FFI 2017.


2. Hanung Bramantyo: Minimnya Literasi

Hanung Bramantyo. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Melengkapi usulan Joko Anwar, Hanung Bramantyo mengingatkan pentingnya sekolah film dengan mindset dan skema detail serta diperkuat praktisi film arthouse maupun populer. Kedudukan praktisi film yang dianggap art dan ngepop sama. Di sisi lain, literasi dan riset seputar film harus diperkaya. Negara sebesar Indonesia mestinya punya riset mengapa film Warkop DKI klasik dan versi reborn meledak di pasar, dan sebagainya. “Riset detail sangat dibutuhkan pelaku industri. Indonesia belum punya itu,” Hanung mengingatkan.

Sekilas Tentang Hanung: Sejarah mencatat Hanung Bramantyo kerap melahirkan film laris. Ayat-ayat Cinta (2008) membuka mata publik bahwa film lokal amat mungkin merangkul 3 juta penonton lebih asal mau menyasar juga mereka yang selama ini tak pernah ke bioskop. Setahun sebelumnya, Hanung Bramantyo merilis Get Married yang disebut standar emas film Lebaran Indonesia. Ditonton 1,3 juta orang, Get Married mengantarnya meraih Piala Citra kedua untuk Sutradara Terbaik.

 


3. Riri Riza: Jangan Lupa Permodalan

Media visit pemain film Kulari Ke Pantai (Deki Prayoga/bintang.com)

“Selain pendidikan, permodalan mungkin?” cetus Riri Riza. Dalam sebuah skema jangka menengah dan panjang, ia menilai sudah waktunya ada semacam kompetisi untuk mendapatkan hibah atas pengembangan ide bagi para produser independen. “Juga hibah biaya pendidikan bagi pekerja kreatif film yang ingin mengikuti pelatihan atau kunjugan apapun di luar negeri,” Riri Riza menukas.

Sekilas Tentang Riri: Sosok penting di balik lahirnya generasi baru perfilman nasional. Turut menggagas film Kuldesak (1997), ia lantas memproduksi Petualangan Sherina yang membuka jalan anak Indonesia ke bioskop dengan aman. Riri Riza turut menulis naskah Ada Apa Dengan Cinta? yang legendaris dan 6 tahun kemudian membuat Laskar Pelangi. Ditonton 4,7 juta orang, Laskar Pelangi film terlaris sepanjang masa dari tahun 2008 hingga 2016.


4. Upi: Eksplorasi Ide Cerita

Upi. (Foto: Avatara 88 manajemen)

Upi punya perspektif berbeda. Ia menyoroti para produser layar lebar yang selama ini terlalu takut dan main aman. Upi lelah menghadapi komentar awam yang menyebut film Indonesia gitu-gitu aja. “Yang mana tidak salah juga. Padahal, filmmaker Indonesia kaya ide, tapi untuk mewujudkannya sulit jika visi produser kita mentok disitu aja, kurang berani bikin terobosan, kemampuan membaca cerita masih terbatas, dan seterusnya,” Upi beropini.

Sekilas tentang Upi: Hanya ada satu sineas perempuan yang karyanya menembus daftar 15 film Indonesia terlaris sepanjang sejarah, yakni Upi lewat My Stupid Boss (2016). Dirilis bareng X-Men Apocalypse dan diadang Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, film yang dibintangi Reza Rahadian ini ditonton 3 juta orang. Upi mengantar Reza Rahadian meraih Piala Citra keempat. Ia juga dikenal lewat 30 Hari Mencari Cinta, Belenggu, dan Radit & Jani.


5. Fajar Nugros: Perlindungan bagi Pekerja

Fajar Nugros. (Foto: Instagram @fajarnugrs)

Fajar Nugros bangga atas pencapaian industri film Indonesia 20 tahun terakhir. Apalagi, tahun lalu ada 15 film Indonesia yang tembus sejuta penonton lebih. Pertama dalam sejarah. Namun ia mengingatkan soal standar kerja dan perlindungan selama proses produksi. “Standar dan perlindungan para pekerja film sangat penting. Pemerintah dan pihak terkait mesti menyusun aturan keselamatan kerja, jam kerja, perlindungan asuransi, dan lain-lain,” ujarnya.

Sekilas Tentang Nugros: Ia diperbincangkan saat karyanya, Cinta Brontosaurus (2013), melawan Iron Man 3 dan mampu menyedot 892 ribu penonton lebih. Pencapaian Fajar Nugros lainnya, Yowis Ben. Digarap bareng Bayu Skak yang dominan dialog bahasa Jawa ini mengeruk 950 ribu penonton. Sekuel Yowis Ben yang dirilis setahun kemudian tembus sejuta penonton. Perjuangan adalah kata yang dipilih Nugros untuk melukiskan kisah sukses Yowis Ben.

 


6. Ernest Prakasa: Serikat Pekerja Solid

Ernest Prakasa. (Foto: Instagram @ernestprakasa)

Lembaga pendidikan penting untuk memuluskan regenerasi kru film. Di sisi lain, Ernest Prakasa menyorot jam kerja. “Yang perlu kita benahi pelan-pelan, jam kerja kru yang masih kacau. Kita belum punya serikat pekerja sesolid di negara maju. Jadi jam kerja sering kurang manusiawi. Kru kerap dihadapkan pada situasi dilematis. Kalau tak mengikuti pola semacam ini enggak dapat pekerjaan dan enggak bisa cari nafkah,” ia memaparkan.

Sekilas Tentang Ernest: Simbol sukses pelawak tunggal yang menyerang ke layar lebar. Lima tahun terakhir, ia rajin mencetak box office. Dimulai dengan Ngenest (2015) yang menyihir 786 ribu penonton hingga Imperfect (2,66 juta penonton). Momen emas Ernest Prakasa terjadi pada 2016. Cek Toko Sebelah ditonton 2,64 juta orang dan mengantarnya meraih 3 nominasi FFI 2017, yakni Pemeran Utama Pria, Sutradara, dan Penulis Skenario Asli Terbaik (menang).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya