Siasat Pelaku Bisnis Kuliner Australia di Tengah Pandemi Corona COVID-19

Akibat Virus Corona COVID-19 jumlah pendapatan para penjual makanan sangat terganggu. Salah satunya pebisnis kuliner asal Indonesia.

Oleh ABC Australia diperbarui 28 Mar 2020, 18:00 WIB
Ilustrasi kota Melbourne, Australia (AFP/Christopher Futcher)

, Melbourne - Pemerintah Australia meminta agar seluruh restoran dan kafe menghentikan layanan makan di tempat. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah penularan Virus Corona. Pilihan layanan 'takeaway' atau membawa makanan pulang boleh diterapkan. Tak hanya itu, delivery juga sangat dianjurkan.

Meski begitu, akibat Virus Corona jumlah pendapatan para penjual makanan sangat terganggu. Salah satunya pebisnis kuliner asal Indonesia.

Seperti yang dilakukan oleh Tiong Djin Siauw, pemilik restoran Tosaria di Melbourne, yang sudah berdiri selama delapan tahun.

"Paling berat tentunya uang masuk ambruk, berkurang sekali," kata Djin kepada Natasya Salim, demikian dikutip dari ABC Indonesia, Sabtu (28/3/2020).

"Yang penting lainnya juga ketersediaan bahan makanan yang bisa kita peroleh mulai ada masalah," tambahnya.

Djin juga merasa sulit jika harus melepas para pegawainya yang sudah lama kerja.

Tapi Djin langsung melakukan perubahan setelah mendengar peraturan tersebut akhir pekan lalu.

"Begitu diumumkan Minggu malam bahwa kami tidak bisa beroperasi, Senin lalu kami sudah siapkan menu-menu rantangan," katanya.

Ia mengaku dengan cepat memotong jumlah menu yang ditawarkan. Hampir seminggu sejak peraturan tersebut berlaku, Djin mengaku jika pelanggannya turun dengan banyak.

Tapi ia masih merasa beruntung karena paling tidak masih mendapat penghasilan dari pelanggan setianya yang melakukan 'takeaway' dan mulai memesan rantangan.

"Saya sangat terharu. Jadi para pelanggan yang sering sekali makan di tempat kami mendukung dan mulai pesan rantangan dan takeaway," kata Djin.

Tantangan Menjaga Kualitas Makanan

Penurunan pendapatan juga dialami oleh Harjo, pemilik sekaligus koki dari restoran Medan Ciak di pusat kota Sydney.

Sebelum pemerintah mengeluarkan peraturan baru, mayoritas pelanggannya adalah makan di tempat.

"Sebelumnya yang dine-in lebih banyak, jumlahnya 80 persen. Sedangkan yang takeaway adalah 20 persen," kata Harjo.

"Pelanggan kami lebih suka dine-in karena makanannya lebih fresh karena bukan pre-cook," tambahnya, yang mengaku pendapatannya sudah turun 80 persen.

Tetapi dengan diberlakukannya aturan baru, Harjo malah mengaku terdorong untuk mencari cara agar kualitas makanan yang ia jual tidak turun, meski menggunakan sistem 'delivery'.

"Tantangan sangat banyak, misalnya kami harus memikirkan kualitas makanan. Jadi tidak semua daerah bisa ada delivery," kata dia dalam wawancara via telepon dengan ABC.

Ia mengaku harus melihat berapa lama jarak yang dibutuhkan untuk mengirimkan makanan.

"Kualitas makanannya yang saya pikirkan. Takut kalau terlalu lama nanti kondisinya not nice."

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak video pilihan berikut:


Usaha Mempertahankan Karyawan

Ilustrasi restoran (dok. Pixabay.com/neshom/Putu Elmira)

Walau mengalami penurunan pendapatan, Harjo yang sudah menjalankan restoran Medan Ciak selama tiga setengah tahun berusaha sekuat tenaga untuk tidak memberhentikan karyawannya.

"Yang penting sekarang misi saya adalah agar karyawan tetap bisa bekerja sehingga minimal bisa bayar sewa. Paling tidak sudah terbantu dalam satu hal," katanya.

Tak hanya itu ia juga memperbolehkan pegawainya untuk makan di restorannya, sebagai upaya meringankan beban pegawainya.

Tapi mereka bekerja dengan jadwal yang terbatas, karena menurut Harjo pembagian jadwal harus dibagi satu sama lain, berdasarkan keputusan bersama.

Kepedulian terhadap para karyawan juga ditunjukkan oleh Alicia Meinar Martino, pemilik dan koki restoran Sendok Garpu di Brisbane, Australia.

"Kami tetap memikirkan bagaimana caranya agar staff selalu kerja. Mereka berkurang jam kerjanya, tapi sampai hari ini kami tidak merumahkan mereka," kata Alicia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, ia mengatur agar karyawannya beralih tugas sesuai kemampuan dan keahlian masing-masing, di saat restoran hanya bisa mengandalkan 'takeaway' dan 'delivery'.

"Jadi misalnya yang tadinya waitress saya tawarkan untuk delivery, terus staff front house saya yang perempuan bisa bikin jajanan rumah, saya minta untuk kerja di dapur," katanya.

"Kepada floor staff saya yang bisa media sosial dan adalah sarjana Komunikasi Pemasaran saya bilang, 'sekarang kita tidak butuh 'waitress', tapi butuh 'social media advertising', jadi kamu sambil mencatat pesanan sambil mengurus media sosial."

Pentingnya Dukungan Komunitas

Menurut Alicia, untuk memaksimalkan pendapatan di saat restoran menjalankan bisnis dengan terbatas, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan 'online presence' atau promosi secara online, selain jenis pemasaran lainnya.

"Kami sekarang masih menerapkan free delivery. Dan untuk pick up atau ambil makanan di restoran kami berikan diskon 10 persen," katanya.

Alicia memperkirakan kondisi seperti ini "akan lama" dilalui oleh pelaku industri kuliner di Australia, karenanya sangat penting untuk memberitahu orang sebanyak-banyaknya soal layanan 'takeaway' atau 'pick up' dan 'delivery'.

"Kami harus benar-benar mengubah dari mengharapkan pelanggan untuk datang dan mulai investasi untuk pemasaran di Facebook."

Sebagai seorang pemilik restoran yang sudah berdiri enam tahun, Alicia merasa harus melakukan usaha lebih banyak untuk meraih pendapatan di tengah pandemik COVID-19.

Namun menurutnya, dukungan dari komunitas juga tidak kalah pentingnya.

"Dengan kejadian ini, pelanggan Indonesia yang di Brisbane juga sangat mendukung. Tiba-tiba ingin takeaway walaupun saya tahu mereka bisa masak sendiri," katanya.

"Saya berterima kasih kepada mereka."

Sejumlah warga Indonesia menyambut layanan baru, seperti 'delivery' yang kini ditawarkan oleh semakin banyak restoran-restoran di Australia.

Jennifer Fong adalah salah satu anggota komunitas Indonesia di Sydney yang menggunakan layanan 'delivery' dari restoran Medan Ciak.

Sebagai seorang agen migrasi yang harus bekerja dari rumah, Jennifer merasa bertanggungjawab untuk memastikan agar selalu ada makanan untuk suami dan anaknya di rumah.

"Kemarin kebetulan Medan Ciak ada delivery ke daerah kami dan ini adalah berita yang sangat baik," kata Jennifer.

"Kami sudah bosan dengan spaghetti bolognese instan," ujarnya yang mengaku sudah memesan nasi padang, nasi dan bihun goreng, serta lontong sayur.

"Saya tinggal lebih dari 30 kilometer jaraknya dari restoran Medan Ciak di pusat kota Sydney. Untuk situasi sekarang ini sistem delivery pastinya sangat membantu."


Dukungan Pada Pemerintah Australia

Ilustrasi restoran. (dok. pexels.com/Emre Kuzu)

Sebagai pemilik dari restoran yang juga masih bertahan, Djin mengerti jika Pemerintah Australia tidak punya pilihan lain, selain memberlakukan peraturan sementara untuk menutup layanan makan di tempat bagi restoran atau kafe, saat memerangi penyebaran virus corona.

Sebagai warga yang tingal di Australia, Djin mengaku "harus mendukung" kebijakan ini, meski dampaknya akan sangat terasa bagi kegiatan usahanya.

Tapi, Harjo merasa rencana Pemerintah Australia ini kurang matang, karena kurang jelasnya prosedur untuk mengakses stimulus ekonomi bagi usaha kecil dan menengah.

Ia juga berpendapat jika Pemerintah Australia tidak melakukan antisipasi bagi semua kalangan bisnis.

"Jadi seharusnya ketika mereka mengeluarkan kebijakan ini langsung memikirkan mereka yang terdampak, dapat subsidi atau tidak, tahu kira-kira arahannya bagaimana, sehingga orang-orang tidak takut."

"Ini yang hampir semua yang pemilik restoran keluhkan."

Sebagai bentuk antisipasi menekan jumlah kasus COVID-19, Pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk membantu warganya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya