Redam Corona COVID-19, Belanda Retur 600 Ribu Masker Rusak Impor dari China

Masker impor dari China ternyata rusak. Padahal, masker itu ingin digunakan untuk mencegah penularan Virus Corona (COVID-19).

oleh Tommy K. Rony diperbarui 30 Mar 2020, 09:20 WIB
Pekerja memproduksi masker di sebuah pabrik di Yangzhou, Provinsi Jiangsu, China, Senin (27/1/2020). Masker tersebut diproduksi untuk mendukung pasokan bahan medis saat wabah virus corona melanda China. (STR/AFP)

Liputan6.com, Amsterdam - Belanda mengembalikan setengah juta lebih masker impor rusak dari China. Keputusan retur barang itu diambil oleh Kementerian Kesehatan karena masker-masker tersebut tak memenuhi standar.

Dilaporkan Euro News, Senin (30/3/2020), ada total 1,3 juta masker impor dari China yang tiba di Belanda pada 21 Maret lalu. Masker-masker itu untuk didistribusikan ke fasilitas kesehatan untuk melavan Virus Corona (COVID-19).

Namun, hasil inspeksi Kementerian Kesehatan ternyata mengejutkan. Hampir 50 persen dari masker impor itu tak memenuhi standar.

"Saat diinspeksi, kualitas kiriman ini tidak memenuhi standar," ujar Kemenkes Belanda. "Tes kedua juga membuktikan bahwa masker wajah ini tidak memenuhi standar kualitas. Kini telah diputuskan untuk menghentikan pemakaian seluruh kiriman ini," jelas Kemenkes.

Total ada 600 ribu masker yang dikembalikan. Kemenkes Belanda berjanji impor masker selanjutnya akan diuji ekstra.

Belanda bukan negara pertama yang mendapat barang rusak dari China. Spanyol akan mengembalikan 640 ribu alat tes cepat (rapid testing kits) dari China karena 70 persen hasilnya tidak tepat.

Otoritas kesehatan Ceko dan Turki juga mengeluhkan hal serupa terkait alat tes cepat dari China.

Meski Virus Corona aslinya berasal dari Wuhan, penyebaran kini sudah meluas di Eropa. Kebutuhan peralatan medis seperti masker dan alat tes pun bertambah dan China mulai mengimpor produk-produk mereka. 

Di Belanda, ada total 10.930 pasien Virus Corona jenis baru. Jumlah itu lebih banyak dari total pasien di Indonesia. Sebanyak 253 pasien di Belanda sembuh dan 772 meninggal. 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.


Borong dari China, Alat Tes Virus Corona COVID-19 di Ceko Malah Error

Penumpang wanita melewati pemeriksaan di Bandara Liuji di Kota Xiangyang, Provinsi Hubei, China (29/3/2020). Layanan penerbangan penumpang domestik kembali beroperasi di Hubei, wilayah yang sempat terdampak COVID-19, kecuali layanan di Bandara Internasional Tianhe Wuhan. (Xinhua/Xie Jianfei)

Kasus lainnya, pemerintah Ceko membeli alat tes cepat COVID-19 (rapid COVID-19 test) dari China sebanyak 300 ribu unit. Ternyata, sekitar 80 persen alatnya malah memberikan hasil salah.  

Menurut laporan media lokal Prague Morning, sebanyak 80 persen alat itu memberi hasil false positive atau false negative. Artinya, yang positif Virus Corona malah jadi negatif atau yang sebetulnya negatif malah hasilnya positif. 

 Parahnya lagi, pemerintah Ceko sudah menggelontorkan 54 juta koruna atau nyari Rp 34 miliar untuk membeli perlengkapan itu. Otoritas kesehatan Ceko berdalih bahwa alat itu memang bukan alat diagnostik dan hanya disarankan jika pasien sudah dua minggu karantina. 

Pengalaman yang mirip turut dirasakan Spanyol. Alat tes Virus Corona dari perusahaan China bernama Bioeasy hanya tepat 30 persen saja, alhasil pakar mikrobiologi Spanyol tidak memberikan rekomendasi. 

Business Insider menyebut pemerintah Spanyol akhirnya memutuskan mengembalikan 9.000 alat tes itu ke China. Yang dikembalikan adalah sampel dari 600 ribu alat tes yang dibeli dari China. 

Meski Bioeasy sudah mengimpor barang kesehatan ke benua lain, pemerintah China berdalih perusahaan Bioeasy yang berada di Shenzhen itu belum punya izin resmi pemerintah. 

Akurasi dari alat tes Virus Corona baru di China sebetulnya sempat dipertanyakan Gedung Putih. Koordinator Respons Virus Corona Gedung Putih, Dr. Deborah Birx, menyindir ada alat tes yang hasilnya menyesatkan, sehingga AS memilih mengembangkan sendiri.

"Hal itu tidak membantu jika ada tes yang 50 persen atau 47 persennya adalah false positive," ujar Birx. "Bayangkan memberi tahu seseorang mereka positif HIV dan ternyata sebenarnya tidak," ujar Dr. Birx pekan lalu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya