Liputan6.com, Jakarta Langkah terbaru Presiden Jokowi dalam penanganan wabah Corona atau Covid-19, yaitu pembatasan sosial skala besar dan wacana penerapan status darurat sipil, direspons oleh berbagai pihak. Termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Juru Bicara PKS Ahmad Fathul Bari mengatakan kebijakan darurat sipil dinilai kurang tepat untuk atasi virus Corona.
Advertisement
"Muncul pertanyaan ketika Presiden Jokowi menyinggung wacana penerapan Darurat Sipil, yang kemungkinan diterapkan dengan menggunakan payung hukum Perppu No. 23 Tahun 1959", ungkapnya di Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Fathul menilai hal itu tidak relevan dengan kondisi wabah Corona saat ini. Bahkan terkesan dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dengan tanggung jawab lebih besar dalam mengambil langkah yang lebih tepat sebagaimana yang diamanahkan dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Perppu tersebut, kata dia, bisa menimbulkan masalah baru jika disalahgunakan penerapannya. Karena memungkinkan adanya langkah yang kurang sesuai dengan semangat demokrasi yang menjadi amanat Reformasi 1998.
"Kami menilai wacana darurat sipil tidak tepat, bahkan kami akan menentang keras jika status itu malah membuka ruang penyalahgunaan wewenang dan langkah represif dibanding upaya penanganan wabah Covid-19 yang lebih baik," ujar Fathul.
Menurut dia, payung hukum yang relevan sudah ada melalui status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang diatur dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. "Jadi pemerintah jangan aneh-aneh malah melirik status darurat sipil," tegas Fathul.
"Langkah penanganan yang lebih masif dan sistematis sebetulnya sudah disediakan payung hukumnya dan diatur secara detail dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang salah satunya perlu diawali dengan langkah Pemerintah Pusat dalam menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sesuai Pasal 10 UU 6/2018," ucapnya.
PKS pun menilai, arahan Presiden Jokowi terkait pembatasan sosial skala besar yang menjadi bagian dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 menjadi terkesan tidak jelas, karena saat ini pemerintah pusat belum menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tersebut.
"Padahal jika kita merujuk UU No. 6/ 2018, dalam Pasal 59 ayat 1 sudah sangat jelas dinyatakan bahwa 'Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat'," ujar Fathul.
Belum lagi soal desakan berbagai pihak agar pemerintah melakukan lockdown atau dalam UU itu disebutkan sebagai Karantina Wilayah. "Seharusnya pemerintah fokus saja jalankan UU tersebut dan segera buat aturan pelaksananya jika belum lengkap, lalu tinggal dijalankan sesuai UU dan aturan lainnya," ujar Fathul.
"Misalnya Karantina Wilayah, segera rampungkan peraturan pemerintah terkait hal tersebut, bukan malah seolah mau melepaskan tanggung jawab lalu menyampaikan wacana darurat sipil," ungkapnya.
Menurut Fathul, tidak tegasnya dan tidak jelasnya langkah dan orientasi kebijakan pemerintah bahkan membuat sebagian kepala daerah di Indonesia mengambil langkah antisipatif yang seolah dilakukan tanpa komando dan tanpa koordinasi dengan pemerintah.
"Kami mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan yang lebih tepat dan jelas orientasinya, serta menggunakan payung hukum yang lebih relevan, agar bisa menyelamatkan masyarakat melewati masa-masa sulit menghadapi wabah Covid-19 ini, bukan malah memperlihatkan ketidakjelasan orientasi dan ketidakberpihakan kebijakannya terhadap masyarakat kita," ujar Fathul.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bersifat Sementara
Ketua DPP PAN Saleh Daulay menilai tidak tepat darurat sipil diterapkan saat krisis pandemi virus corona. Sebab, aturan hukum darurat sipil itu lahir di masa revolusi sebagai respon yang bersifat sementara.
"Menurut saya, pilihan penerapan darurat sipil kurang tepat. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dasarnya hukumnya adalah Perppu tentang keadaan bahaya dimana kelahiran Perppu itu sendiri lahir di masa revolusi sebagai respon terhadap situasi pada saat itu yang sifatnya sementara dan temporal," ujar Selasa (31/3/2020).
Saleh mengatakan, saat Perppu itu lahir sebelum diberlakukan otonomi daerah. Sehingga situasi dan sistem politiknya berbeda dengan masa sekarang.
Saleh mengatakan, Perppu darurat sipil ditetapkan jika keamanan dan tertib hukum terancam. Serta, jika diakibatkan bencana alam. Sementara virus corona tergolong bencana non alam.
"Selain itu, saat ini sudah ada BNPB dan gugus tugas yang bekerjasama dengan 33 kementerian," kata Saleh.
Menurut Saleh, penerapkan darurat sipil bertentangan dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus dapat menyampingkan hukum yang umum). Dia menilai, UU Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi.
Anggota Komisi IX itu menilai lebih baik pemerintah menerapkan karantina wilayah sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan. Dia tak yakin penerapan darurat sipil akan membantu kondisi saat ini.
"Ini kan sama dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan alat "darurat sipil". Jadi darurat sipil dipakai sebagai alat untuk menjalankan pembatasan sosial berskala besar. Daripada pakai darurat sipil, pemerintah mestinya menetapkan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana amanat pasal 10 ayat 1 Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan," ujarnya.
Saleh mengatakan, karantina wilayah sepertinya bukan opsi utama pemerintah. Sebab, karantina wilayah membutuhkan biaya besar karena membiayai kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak. Belum lagi dampak sosial ekonomi dimana banyak perusahaan dan tenaga kerja tak beroperasi sehingga tak semua dapat menerimanya.
"Saya juga heran, kenapa tiba-tiba opsi ini muncul. Setahu saya, kemarin menkopolhukham sudah mengumumkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan karantina wilayah. Dengan adanya opsi baru ini, pemerintah kelihatannya belum siap untuk mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus penyebaran virus corona di Indonesia," kata Saleh.
Reporter: Ahda Bayhaqi, Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka
Advertisement