Curhat Dokter yang Tangani Corona, dari Sulit Tes Covid-19 hingga Kesal Sendiri

Dua dokter di rumah sakit di Jakarta dan daerah yang menangani Corona, mencurahkan isi hatinya karena kesal dengan kondisi saat ini. Simak ceritanya di sini.

oleh Yopi Makdori diperbarui 31 Mar 2020, 14:04 WIB
Petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan pakaian pelindung khusus saat menangani pasien yang diduga terinfeksi Corona di Gedung Mawar RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta, Senin (2/3/2020). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang dokter di rumah sakit swasta di Jakarta mengungkapkan begitu sulitnya melakukan pengecekan Covid-19 akibat virus Corona untuk dirinya sendiri. Dokter yang tak mau disebutkan namanya itu mengaku sempat menjadi orang dalam pemantauan (PDP).

Pasalnya, beberapa hari sebelumnya, dia pernah memeriksa pasien dengan gejala Corona Covid-19 yang baru pulang dari Thailand.

Akhirnya, dia diisolasi di sebuah rumah sakit. Namun, menurut pemeriksaan CT scan, paru-parunya bersih dan tak menunjukkan adanya gangguan.

"Ternyata saya clear, tapi note-nya saya clear untuk saat ini. Akhirnya saya pulang dengan banyak obat. Obat nebulizer untuk sesek (nafas) saya dan bla, bla, bla," kata dokter itu kala dihubungi Liputan6.com, Selasa (31/3/2020).

Dia menuturkan, setelah pulang, kondisinya bukannya semakin baik. Dokter itu justru merasa kondisi badannya memburuk.

Gejala sesak nafasnya semakin menjadi-jadi. Akhirnya, dia putuskan untuk menghubungi dinas kesehatan setempat.

Sudah dihubungi berkali-kali dinas kesehatan di daerahnya tak juga kunjung merespons. Kemudian ia diminta untuk mengirim riwayat pemeriksaan saat ia menjalani karantina di salah satu rumah sakit.

Berdiam di rumah tanpa adanya kejelasan ternyata bukanlah pilihan yang menyenangkan. Belum lagi ia takut menginfeksi keluarga dan asisten rumah tangganya di rumah. Akhirnya, ia mencoba untuk menghubungi kenalannya di Kementerian Kesehatan dan diberikanlah obat-obatan dari salah satu dokter di rumah sakit berkat bantuan kenalannya itu.

Namun, dia masih ragu untuk meminum obatnya. Ia pun mencari cara lain, akhirnya dihubungilah salah satu dokter spesialis paru di rumah sakit Jakarta. Ia konsultasi keluhannya melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp (WA).

"Kalau swab kan ngantri tuh, kalau pref enggak dapat-dapat dari Dinkes terdekatnya belum dikirim. Daripada enggak ada apa-apa, setidaknya saya enggak menularkan aja ke anak saya. Saya dokter apalagi orang awam pasti cemasnya lebih lagi," tutur dokter yang sempat menangani pasien Corona itu.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Menggigil

Petugas menyiapkan mobil ambulans untuk membawa pasien terduga virus corona di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Kamis (5/3/2020). Satu WNA terindikasi virus corona diizinkan pulang setelah hasil pemeriksaan, WNA itu negatif corona. (merdeka.com/Imam Buhori)

Akhirnya, ia menelan obat dari dokter yang disarankan melalui konsultasi via WA tersebut dan seketika ia lebih mudah untuk bernafas dengan normal. Ia mengungkapkan, dokter tersebut mengatakan padanya, jika ia merasa ringan setelah minum obat, maka Covid-19 yang dideritanya masih ringan.

Kendati begitu, ia merasakan badannya begitu menggigil dan dadanya terasa berat untuk bernafas.

"Begitu saya minum obat yang paling dosis tinggi yang spektrum B. Dengan sediaan 500 miligram which is harus masuk ke saya 750 (miligram) saya akhirnya potong itu. Satu hari satu, tapi 750 miligram yang masuk," ungkapnya.

Rupanya obat tersebut bukan tanpa efek samping, tapi menimbulkan ruam di bagian kulit letak organ tubuh diserang Covid-19. Dokter itu mengaku leher dan dadanya penuh dengan ruam bak pulau-pulau kecil di kulitnya.

Karena disertai reaksi alergi, maka ia diminta untuk mengonsumsi obat anti alerginya. Tak beberapa lama kondisi badannya semakin membaik.

Dalam siklus serang Covid-19, dokter itu mengatakan bahwa ada tahapan di mana pasien mengalami titik paling lemah, namun dalam standar operasional prosedur di Kementerian Kesehatan pada titik itu justru pasien diminta untuk mengisolasi diri di rumah dan tak diberi tahu harus melakukan apa. Belum lagi ia mengalami sendiri bagaimana dinas kesehatan begitu sulit untuk dihubungi karena satu dan lain hal.

"Karena sudah 4 hari aku telepon lagi dinkes-nya. Saya katakan (ke dia) saya kan ODP berarti kamu berkenan dong datang ke saya untuk pref. (Dia jawab) oh tidak dok, pref yang diperuntukkan untuk PDP," ungkapnya.

Awalnya, dia mencoba berpikir positif, memang alat tes itu terbatas ketersediaannya. Oleh karena itu, dia berpikir akan lebih baik digunakan untuk yang lebih membutuhkan.

Sampai pada suatu waktu, salah satu pasien yang dekat dengannya menunjukkan sebuah video temannya yang tengah melakukan tes Covid-19 hingga mengundang dinkes bersama alat tesnya lengkap dengan dokter dan pera perawatnya dengan harga Rp 17 juta.

"Gila enggak? Gila enggak kayak gitu? Jadi kalau saya mau ketemu pref dan ketemu swab, satu saya ada sesuatu, saya ada duit, saya pejabat, bla, bla, bla atau nafas saya udah pendek baru saya ketemu swab," tegasnya dengan nada marah.

"Gimana enggak infeksius, gimana enggak kematian tinggi?" imbuhnya.

Ia pun melaporkan kejadian tersumbat kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam sebuah rapat tertutup. Namun yang terjadi bukanlah sesuatu yang diharapkan.

 


Soal APD yang Sulit Didapat

Petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengenakan pakaian pelindung khusus saat menangani pasien yang diduga terinfeksi Corona di Gedung Mawar RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta, Senin (2/3/2020). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sementara itu, seorang dokter di salah satu rumah sakit daerah mengeluhkan sulitnya rumah sakit menyediakan masker dan alat perlindungan diri tenaga kesehatan. Dokter yang juga tak mau identitasnya diungkap itu menceritakan, saat ini persediaan masker di rumah sakit begitu terbatas.

"Sekelas rumah sakit yang biasanya sudah pesan dari distributor besar, enggak dapat gitu loh," kata dokter itu kala dihubungi Liputan6.com, Senin (30/3/2020).

Dokter anestesi itu mengungkapkan, barang-barang seperti masker begitu diperlukan dalam ruangan operasi. Biasanya para tenaga kesehatan bisa dengan leluasa mengambil masker untuk dipergunakan dalam ruang operasi, namun saat ini ia mengaku pihak rumah sakit hanya menyediakan 10 buah masker setiap ruang operasi per harinya.

"Jadinya dibatasinya satu ruangan operasi itu hanya untuk 10 masker. Belum ganti perawat, dokternya, yang lain. Kalau break makan ini gimana? Kan mesti diganti. Enggak masuk akal," ungkapnya.

Terlebih lagi, menurut dia, sudah ada imbauan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena merebaknya wabah Covid-19 agar meminta setiap dokter yang memeriksa pasien harus menggunakan masker.

"Untuk kita aja yang kerja di dalam (ruang operasi) susah," tegasnya.

Dokter itu mengungkapkan, biasanya setiap hari satu ruangan operasi bisa banyak melayani pasien. Namun sejak kekurangan alat medis, setiap harinya hanya melayani beberapa saja.

"Akhirnya kita minta bagi operasi yang bisa ditunda ya ditunda dulu, kecuali operasi melahirkan ya kan itu sudah jauh-jauh hari, enggak bisa ditunda juga," tukasnya.

 


Mau Marah, Tapi Sama Siapa?

Aktivitas tim medis saat menangani pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona atau COVID-19 di ruang isolasi Gedung Pinere, RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Rabu (4/3/2020). Sebanyak 10 dari 31 pasien yang dipantau dan diawasi RSUP Persahabatan merupakan pasien rujukan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Dokter itupun mengusulkan supaya pihak pemerintah mendatangi pabrik masker untuk menggenjot produksinya. Mengingat saat ini tenaga medis dan masyarakat begitu membutuhkannya.

"Kenapa sih enggak pemerintah datangi saja pabrik, gimana caranya. Kenapa enggak bisa sih? Datangi saja pabriknya. Kan pabriknya kan banyak, nanti (minta) produksi saja yang banyak pemerintah yang beli," usulnya.

Dalam situasi seperti ini, kata dokter itu, pemerintah mestinya mengoordinasi penyebaran masker ke seluruh Indonesia dan memprioritaskan rumah sakit terlebih dahulu.

"Kami kasih lah perlindungan. Kaya kasus yang banyak itu, kaya Covid-19 ya banyak dokter (kena) sejujurnya karena kami pun yang menolong pasien dari awal itu gak mendapat perlindungan maksimal. Harus gimana? Enggak ditolong gimana, ditolong kita mati konyol," tegas dokter.

Selain kekurangan masker, dokter mengaku begitu kesulitan mendapatkan alat perlindungan diri atau APD. Baju APD yang begitu utama digunakan untuk memeriksa pasien Covid-19 persediaannya begitu terbatas.

Dia mengusulkan supaya pemerintah memberdayakan anak-anak panti untuk menjahit APD.

Dia juga mengusulkan supaya pemerintah mengubah pabrik konveksi untuk memproduksi APD. Hasilnya bisa dibeli oleh pemerintah guna didistribusikan ke seluruh rumah sakit di Indonesia.

"Ya saya rasa mereka (pabrik) mau lah. Kemarinkan nunggu barang dari China ternyata barang Indonesia juga, pengen marah rasanya, tapi marah sama siapa?" ia menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya