Liputan6.com, Jakarta - Angka korban corona Covid-19 kian hari terus menanjak. Seakan tak tertahan, jumlah pasien positif corona meningkat menjadi 1.677 orang per 1 April 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 157 meninggal dunia. Meski demikian, rasa optimistis tetap tertanam dengan jumlah pasien pulih sebanyak 103 orang.
Di tengah pandemi yang memprihatinkan tersebut, Indonesia menerapkan status kedarutan kesehatan masyarakat. Presiden Joko Widodo juga telah memutuskan opsi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, yang mengacu pada Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Advertisement
Opsi ini diambil agar penerapan social distancing dan pshycal distancing yang sudah berjalan kian maksimal diterapkan.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Eko Sakapurnama, keputusan ini merupakan jalan tengah dari adanya tekanan kepada pemerintah untuk mengambil langkah lockdown. Karena penutupan wilayah dikhawatirkan akan memiliki dampak yang hebat terhadap perekonomian Indonesia.
"Saya pikir pemerintah berupaya mencari jalan tengah, makanya opsi lockdown tidak digunakan, karena kutub krisis ekonomi akan berdampak parah seperti yang terjadi di India atau Tunisia," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (1/4/2020).
Pandemi akibat virus corona atau Covid-19 ini, lanjut dia, memang membuat polarisasi antara darurat kesehatan dan keselamatan manusia dengan berimbas terhadap krisis ekonomi tingkat global. Dua kutub ini, tegas Eko, membuat masalah menjadi kompleks yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Selanjutnya, kata dia, penerapan pembatasan sosial berskala besar ini bisa berjalan efektif bila adanya keterlibatan aparat penegak hukum. TNI-Polri dapat mengambil peran dalam menertibkan masyarakat yang masih membandel terhadap aturan tersebut.
"Jadi tidak hanya sekadar imbauan tapi tindakan yang lebih represif. Secara nilai budaya, masyarakat Indonesia itu kolektivis, senang berkumpul, nah budaya ini harus di-pause dulu saat ini," ujar Eko.
Selain itu, nantinya kios-kios yang menyediakan barang-barang bukan logistik dan kesehatan, dapat diminta dengan tegas untuk tutup sementara. Atau mereka bisa tetap membuka tokonya namun bukan dengan tatap muka.
"Tapi dengan online dan pengiriman melalui ojol (ojek online), sehingga denyut ekonomi masih berjalan secara minimalis (tidak mati total)," kata dia.
Kebijakan PSBB ini juga disambut Polri. Seluruh Polda se-Indonesia telah diperintahkan untuk mengawal dan mengambil tindakan bila masih ada warga yang membandel. Petugas akan melakukan imbauan sebanyak tiga kali dan jika tidak diindahkan akan dilakukan pembubaran serta membawa kelompok ke Polres atau Polda.
"Dan dari kepolisian sudah membuat direct kepada Polda-Polda dan sampai tingkat Polres, apa yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian biar seirama, biar sama sesuai aturan dan undang-undang. Mulai dari Mabes Polri sampai tingkat bawah," ujar Karopenmas Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/4/2020).
Dia menambahkan, pembatasan sosial berskala besar ini sudah disosialiasikan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan maklumat Kapolri. Bahkan ada beberapa Polda yang membuat buku saku petunjuk yang akan menjadi panduan para anggotanya di lapangan.
"Biar seirama, tidak ada gejolak tentunya semua tetap pada kegiatan preventif yang humanis dan tidak meninggalkan budaya lokal daripada daerah masing-masing di situ," ujar dia.
Tak hanya itu, Polri juga terus mengawal ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat. Dipastikan jangan sampai ada penimbunan yang dilakukan oleh yang tidak bertanggung jawab. "Ada dari pada pelaku yang menaiki harga dari normal. Mungkin juga ada penimbunan, sudah ada 18 kasus yang ditangani mabes dan jajaran polda," kata dia.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Efektifkah PSBB?
Sementara itu, Pakar Tata Hukum Negara Margarito Kamis menilai, penerapan pembatasan sosial berskala sosial yang diputuskan pemerintah belum sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Ada urutan yang harus dilalui dalam penerapan opsi tersebut.
"Kalau bicara berdasarkan penanganan corona berdasar UU No 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, tindakan pertama pemerintah adalah darurat kesehatan, deklarasi keluarkan dalam bentuk keppres apakah Indonesia atau daerah tertentu saja. Itu sebagai satu darurat kesehatan, karena penyebaran virus begitu luas, efeknya mematikan sehingga membahayakan kesehatan masyarakat maka perlu dinyatakan darurat," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (1/4/2020).
Setelah dinyatakan darurat, baru dilakukukan mitigasi. Di fase ini kemudian dilakukan karantina yang di dalamnya ada Pembatasan sosial Berskala Besar. Ini adalah salah satu jenis karantina.
"Tapi sekali lagi, itu harus didahului pernyataan presiden, Keppres. Misalnya daerah ini, Jakarta misal masuk PSBB, karena itu dilakukan tindakan PSBB, kalau itu dilakukan, tidak ada pilihan harus urus rakyat," ujar dia.
"Mengapa? karena UU No 6 Tahun 2018 kalau tak salah Pasal 55 itu mengatur demikian. Kalau pemerintah menetapkan PSBB, sejak saat itu, satu muncul kewajiban pemerintah mengurus rakyat dan sisi lain muncul hak rakyat urus mereka. Ini aturan hukum, ini UU nya," ujar dia.
Secara keseluruhan, lanjut Margarito, efektivitas PSBB berada di tangan pemerintah. Undang-undang juga memberi kewenangan untuk mengambil tindakan represif terhadap siapa pun yang tidak menaati keputusan ini.
"PSBB bukan imbauan makanya supaya efektif dan orang suruh di rumah aja, lah orang mau makan apa? Sebabnya undang-undang itu menyatakan negara mengurus mereka dan diikuti tindakan paksa," jelas dia.
"Jadi PSBB ini sebenarnya sebagian sudah dilakukan pemerintah, cuma karena kurang tegas maka, hanya imbau imbau saja belum paksa. Cuma kalau dipaksa, makan apa rakyat?" demikian Margarito.
Sementara itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai opsi PSBB yang diambil sebagai gambaran sikap gamang Presiden Jokowi. Alasan Jokowi tak semua negara sama dalam menangani Corona sehingga opsi karantina wilayah dan lockdown tidak dipilih.
"Padahal, PSBB itu diambil Jokowi setelah meralat kebijakan darurat sipil yang banyak dikritik publik. Sebab publik berharap, Jokowi fokus dulu pada penerapan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (1/4/2020).
Dalam PP No 21/2020 tentang PSBB, ada tujuh pasal yang secara umum menjelaskan Percepatan Penanganan Corona. Pasal 1 misalnya, menjelaskan pembatasan kegiatan penduduk untuk mencegah kemungkinan penyebaran virus Corona.
"Anehnya PP PSBB ini tidak mengatur pergerakan orang asing ke Indonesia, terutama kedatangan TKA asal China. Sehingga PP PSBB ini terkesan mendiskriminasi anak bangsanya sendiri dan mengistimewakan orang asing, terutama TKA China," kata Neta.
Akibatnya, lanjut dia, jajaran kepolisian akan sering konflik dengan anak bangsanya sendiri. Alasannya, Polri harus mengamankan Maklumat Kapolri dan PP PSBB. "Jika sudah demikian, pasti masyarakat tidak akan peduli dengan kebijakan PSBB Jokowi," ujar dia.
IPW berharap, Presiden Jokowi tidak bingung dalam menghadapi wabah Corona sehingga PP PSBB bisa bersikap tegas terhadap siapa pun. Jika tidak, PSBB itu hanya memusuhi bangsanya sendiri di tengah wabah Corona. Sebab, masyarakat yang berkumpul melakukan pesta perkawinan, arisan, acara olahraga akan dihalau Polri. Begitu juga warga yang hendak mudik, baik dari Jakarta maupun luar negeri diimbau agar tidak mudik.
"Sementara TKA China bisa bebas lenggang kangkung masuk hingga ke pedalaman Indonesia. Ini menunjukkan bahwa PSBB produk Jokowi tidak jelas arahnya," ujar dia.
Advertisement
Syarat Berlakukan PSBB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya menetapkan status kedarutan kesehatan masyarakat di tengah pandemi Corona Covid-19. Keputusan ini diambil setelah menelaah dampak dari pandemi global tersebut.
"Untuk mengatasi dampak wabah tersebut, saya telah memutuskan dalam rapat kabinet, opsi yang kita pilih adalah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB," kata Jokowi, Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Dasar keputusan PSBB diambil dari Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan. Dalam mengatur prosedur. Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020.
Dalam PP ini, disebutkan syarat bagi pemda yang akan memberlakukan PSBB. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 3. Dalam pasal itu ada dua kriteria yang harus dipenuhi untuk menerapkan PSBB, yakni jumlah kasus dan/atau jumlah kematian serta kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa.
Pasal itu berbunyi:
Pembatasan Sosial Berskala Besar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Dalam Pasal 4 dijelaskan PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. PSBB dilakukan dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan penduduk.
Terkait kebutuhan penduduk, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyatakan siap menjamin hal tersebut. Namun itu ditegaskan hanya sebatas pada kesiapan logistik yang dibutuhkan.
"Yang dimaksud menyiapkan kebutuhan itu menjamin ketersediaan, bukan memenuhi kebutuhan," kata Muhadjir kepada Liputan6.com, Rabu (1/4/2020).
Dalam memenuhi kebutuhan hajat orang banyak ini, dia mengungkapkan bisa menjadi tanggung jawab bersama. Pusat dan daerah bisa saling bergandengan tangan dalam menyediakan kebutuhan masyarakat. "Bisa juga salah satunya," ucap Muhadjir.
Dia menepis, PP ini sebagai wadah 'cuci tangan' pemerintah yang tidak ingin mencukupi kebutuhan masyarakat dalam masa darurat ini. Bahkan dalam jaminan sosial, tegas Muhadjir, pemerintah telah mengucurkan dana ratusan triliun kepada rakyat.
"Pasti pemerintah pusat akan menangani dengan sangat serius. Pemerintah pusat kan mengalokasikan Rp 110 triliun untuk program JPS (Jejaring Pengaman Sosial)," kata Muhadjir.
Mantan Mendikbud ini menilai tepat penerapan pembatasan sosial berskala besar ketimbang karantina wilayah. Sebab konsekuensi yang ditimbulkan dari karantina wilayah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dinilainya tidak logis.
Dalam karantina, jelas Muhadjir, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk makanan hewan peliharaan. Sedangkan kalau PSBB tidak.
"Ya itu tidak masuk akal. Saya yakin semangat dari pasal tentang karantina wilayah, tidak itu. Bisa dibayangkan kalau DKI melakukan karantina wilayah, pemerintah pusat harus kasih makan seluruh penduduk DKI sekalian kucing dan anjing piaraan, kira-kira masuk akal tidak?" ucap Muhadjir.