Liputan6.com, Jambi - Tumenggung Rusman (60), baru saja menyelesaikan hajatan penanaman pohon bersama. Ia duduk bersila di bawah pohon yang tak jauh dari kamp Hutan Harapan yang berada di kawasan Sungai Jerat, Kabupaten Batanghari, Jambi.
"Bagi kami hutan itu ibaratnyo seperti istana, di dalam hutan itu apo yang kami inginkan segalonyo ado, di hutan kami biso hidup mewah, " ujar Rusman ketika membuka percakapan kepada Liputan6.com pada akhir pekan 14 Maret 2020 lalu.
Rusman adalah pimpinan dari kelompok masyarakat adat Batin Sembilan Kandang Rebo Bawah Bedaro Anak Dalam Guli'an. Konon penamaan Batin Sembilan itu merujuk pada sembilan kawasan sungai yang mereka tempati. Kelompok ini tinggal di kawasan Hutan Harapan.
Baca Juga
Advertisement
Ada sekitar 80 kepala keluaga (KK) yang berada di bawah komando Rusman. Mereka tinggal dan menggantungkan hidupnya kepada segala yang ada di dalam hutan. Di antaranya mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti mencari getah jernang, getah jelutung, rotan, madu sialang dan lain sebagainya yang ada di hutan.
Hasil hutan bukan kayu itu lantas mereka jual dan uangnya mereka gunakan kembali untuk membeli kebutuhan pokok, sandang dan juga pangan. Bagi mereka hutan adalah segalanya, semua aktivitas mereka selalu dilakukan di dalam rimba dengan meramu hasil hutan.
Bahkan untuk urusan protein pun, kata Rusman, mereka mencari juga di dalam hutan, baik itu dengan cara berburu atau memancing. Sehingga mereka pun sangat menghormati hutan yang menjadi warisan nenek moyang mereka dulu.
"Mencari orang Batin Sembilan kalau siang hari pasti dak pernah ketemu, kareno dari pagi sampai matahari terbenam orang Batin Sembilan selalu pergi ke hutan," kata Rusman.
Masyarakat adat Batin Sembilan bermukim di kawasan Hutan Harapan yang merupakan benteng terakhir hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera. Mereka masih menjalankan praktik tradisional dan kosmologi hubungan antara manusia dengan alam.
Begitu pula dengan penghormatan kepada hutan masih terus mereka lakukan. Menurut Rusman, penghormatan itu biasanya dilakukan oleh masing-masing individu mereka dengan cara mempertahankan sistem pengetahuan tradisional.
Hingga kini cara-cara tradisional memanfaatkan hutan pun masih dipertahankan. Mereka hidup berdampingan dengan para penghuni hutan. Belum pernah terdengar kelompok mereka yang berkonflik dengan satwa liar di dalamnya. Semua selaras hidup berdampingan.
"Penghormatan kepado alam tetap kami lakukan. Kalau hutan yang selamo ini jadi tempat tinggal kami habis, wabah akan bermunculan," ujar Rusman dengan logat khasnya Batin Sembilan itu.
Simak Video Pilihan Berikut:
Kondisi Hutan Saat Ini
Hutan bukan hanya menjadi habitat flora dan fauna. Hutan juga menjadi rumah bagi suku minoritas seperti Batin Sembilan. Tapi bagaimana kondisi hutan sekarang?
Perasaan sedih masih menghinggap dibenak Rusman. Dia lalu berdiri menunjukan hamparan bekas tumbangan pohon. Pepohonan itu kini sudah habis dan berganti jelaga dan sebagian tersisa semak belukar.
Hilangnya hutan di kawasan itu kata Rusman menceritakan, semua akibat ulah perambah liar yang merangsek ke kawasan itu. Para perambahan hutan migran itu dengan trengginas menebang pohon, lalu membakarnya. Menurut catatan manajemen Hutan Harapan, luas hutan yang dibakar kelompok perambah ilegal itu mencapai 384 hektare.
Pada puncaknya musim perambahan itu, Rusman mengaku sempat geram. Bahkan masyarakat Batin Sembilan sempat ingin menerapkan hukum adat berupa hukuman jempalo tangan. Namun peringatan itu tidak diindahkan pelaku perambahan.
"Jempalo tangan ini hukuman potong tangan untuk yang nebang pohon, ini aturan adat kami, dan ini sempat ingin kami terapkan kepada pelaku perambahan, tapi tidak jadi, hingga akhirnya pelaku perambahan ditangkap aparat," dia menjelaskan.
Pohon Sialang (Koompassia excels)-- pohon paling tinggi dan besar yang menjadi sarang lebah di kawasan itu juga habis ditumbang. Pohon Sialang selama ini menjadi yang sakral dan andalan masyarakat adat Batin Sembilan, karena menghasilkan madu dari koloni lebah yang tinggal di pohon itu.
"Ado sekitar 14 batang pohon Sialang di sini (Sungai Jerat) yang terbakar, habis" ujar Rusman.
Tak hanya Pohon Sialang, pohon-pohon besar lainnya juga ikut ditumbang oleh perambah. Padahal kawasan itu selama ini telah menjadi ruang hidup masyarakat adat Batin Sembilan.
Advertisement
Perjuangan di Tengah Kerusakan Hutan
Mang Rusman, begitu ia disapa, juga merupakan seorang pemanjat pohon Sialang. Ia ulung memanjat pohon Sialang yang tingginya mencapai puluhan meter.
Sebelum memanen madu di pohon Sialang itu kata Rusman, ada ritual khusus. Ritual khusus untuk memanen madu Sialang itu menurut Rusman, harus dilakukan supaya hasil madu yang didapat menjadi lebih banyak.
"Pohon Sialang sekarang yang masih ado di wilayah Sungai Bungin, ada sekitar 20 sampai 30 pohon," kata dia.
Di tengah ancaman kerusakan hutan yang datang silih berganti, kini Suku Batin Sembilan masih terus berjuang mempertahankan hutan agar tetap menjadi istana dan rumah untuk tempat mereka berlindung dan mencari makan.
Gayung bersambut, Rusman dan warga suku Batin Sembilan ikut bekerja menjaga dan mempertahankan Hutan Harapan bersama PT Resrotasi Ekosistem Indonesia (Reki). Perusahaan ini adalah pemegang konsesi restorasi untuk memulihkan hutan dataran rendah di Sumatera.
Hutan Harapan kini masih menghadapi ancaman, baik itu ancaman perambahan dan ancaman pembukaan jalan tambang. Jalan terjal dalam menghadang berbagai ancaman itu mesti mereka hadapi. "Agar Hutan Harapan bisa diwariskan untuk generasi anak cucu kedepan."