Liputan6.com, Banjarnegara - Tragedi penolakan pemakaman jenazah pasien Covid-19 di berbagai daerah memicu keprihatinan, salah satunya di kalangan pesantren. Tak semestinya penolakan terjadi, terlebih sebagai sesama muslim.
Namun, tentu saja masyarakat penolak jenazah pasien Covid-19 tak bisa disalahakan sepenuhnya. Tiap hari disuguhi berita dan kabar di media sosial membuat mereka khwatir dan phobia Corona Covid-19.
Jalan lempang ditawarkan oleh Pondok Pesantren atau Ponpes Tanbighul Ghofilin Alif Baa, Desa Mantrianom, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ponpes ini menyediakan lahan makam untuk jenazah pasien Covid-19.
Baca Juga
Advertisement
Pengasuh Ponpes Tanbighul Ghofilin Alif Baa, KH Khayatul Makky mengatakan, penyediaan lahan makam itu dipicu oleh keprihatinan penolakan jenazah Covid-19 di beberapa daerah, terutama di Banyumas, seperti yang mencuat pekan ini.
Padahal, merawat dan memakamkan jenazah adalah kewajiban. Terlebih, bagi umat muslim. Hukum merawat, mensalatkan dan memakamkan jenazah muslim adalah fardlu kifayah.
“Saya prihatin dengan penolakan jenazah pasien Covid-19. Kami memiliki lokasi lahan yang cukup luas untuk pemakaman,” ucap Gus Khayat, panggilan akrabnya, Kamis petang, 2 April 2020.
Lahan yang disiapkan itu cukup jauh dari permukiman. Karenanya, tidak ada alasan untuk dikhawatirkan karena berada di lokasi yang aman.
Selain itu, dia pun mengklaim warga Mantrianom pun sudah mendapatkan sosialisasi dan edukasi terkait Covid-19. Masyarakat terdidik adalah kunci agar penolakan jenazah pasien Covid-19 tak kembali terulang.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Desain Pemakaman Modern
“Masyarakat Insyaallah bisa menerima. Karena itu, di sini lah pentingnya peran pemerintah dan ulama untuk memberikan sosialiasi yang benar soal Covid-19,” katanya.
Dia mengemukakan, meski berada jauh dari permukiman, dia menyatakan akan merawat makam tersebut, seperti layaknya keluarga. Makam akan dibangun dan bahkan bisa didesain layaknya pemakaman modern.
“Bisa dibuat seperti pemakaman di hill (bukit). Bisa dibuat seperti taman-taman,” ujarnya.
Peran ulama, bagi Gus Khayat, sangat penting dalam situasi seperti sekarang. Bagaimana pun, ulama adalah patron masyarakat di luar pemerintah. Karenanya, ulama pun mesti dididik untuk memahami Covid-19, beserta penanganannya.
Dia sendiri nyaris tiga pekan terakhir mensosialisasikan, sekaligu melakukan aksi disinfeksi di beberapa faslitas pelayanan publik, area umum, dan pusat keramaian.
Sejalan dengan itu, berbekal pengeras suara, Gus Khayat mensosialisasikan pencegahan Covid-19. DI antaranya dengan menjaga kebersihan, social distancing, serta tak lupa berdoa, sebagai penyerahan diri kepada Tuhan.
“Penyemprotan sudah, pencegahan sudah, pengobatan sudah, lainnya adalah doa. Diambil hikmahnya, saat tidak bisa bersilaturahmi, bisa diisi dengan berbagai ibadah,” dia menjelaskan.
Advertisement
Isolasi dan Penerapan Social Distancing di Ponpes
Seperti diketahui, satu jenazah pasien positif Covid-19 di Banyumas, Jawa Tengah sempat terkatung-katung akibat penolakan pemakkaman di beberapa desa. Meninggal dunia pada Selasa (31/3), jenazah baru bisa dimakamkan Rabu, setelah sempat ditolak di beberapa desa, dan bahkan dibongkar pemakaman salah satu desa di Banyumas.
Gus Khayat mengungkapkan, pada masa pandemi Corona covid-19 ini, Ponpes Ghofilin Alif Baa menerapkan isolasi mandiri atau karantina mandiri untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Bahkan, di dalam blok ponpes sendiri, protokol tetap dilakukan dengan ketat.
Pesantren ini mengisolasi antar blok dan menutup kunjungan sejak dua pekan silam. Santri dilarang saling berkunjung ke blok pesantren lain demi social distancing untuk menjaga segala kemungkinan.
“Ini kan ada putra dan putri. Terdiri dari beberapa blok. Antar blok sementara ditutup dulu,” dia menjelaskan.
Pesantren selama dua pekan terakhir ini praktis juga menutup pintu gerbang. Tujuannya yakni untuk mencegah lalu lalang secara bebas. Orang tua santri juga dilarang mengunjungi anaknya di pesantren.
Dan kini, ada SOP baru bagi santri berwudlu. Sebelumnya, santri terbiasa mencuci tangan sebelum bersuci. Kini, sebelum bersuci, santri harus menggunakan hand sanitizer atau sabun.
“Bagi santri sebenarnya berwudlu lima kali sehari untuk menjaga wudlu, atthoharoh itu biasa. Cuma sekarang, saat cuci tangan sebelum berwudlu, menggunakan hand sanitizer terlebih dahulu,” jelasnya.
Di Pesantren Tanbighul Ghofilin terdapat sekitar 2.500 santri. Selain mengaji, para santri juga bersekolah formal, mulai dari tingkat sekolah dasar, lanjutan tingkat pertama dan atas, serta perguruan tinggi.
Simak video pilihan berikut ini: