Selamat Pagi dari Kampung Gerabah Abar Sentani

Warga di Kampung Abar Sentani juga mengajarkan siswa dari Hillcrest International School Sentani membuat gerabah.

oleh Katharina Janur diperbarui 05 Apr 2020, 06:00 WIB
Gerabah di Kampung Abar Sentani, Kabupaten Jayapura. (Liputan6.com/Hari Suroto/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura - Abar merupakan kampung yang unik. Berada di kawasan Danau Sentani, kampung ini dikenal dengan kampung perajin gerabah.

Gerabah dari Kampung Abar umumnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan peralatan masak maupun wadah penyimpanan makanan bagi masyarakat di wilayah Sentani dan sekitarnya.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebutkan munculnya kerajinan gerabah di Kampung Abar dimulai oleh marga Felle dari suku Assatouw yang bermigrasi dari Pasifik, dengan berlayar hingga tiba di wilayah Papua.

Nenek moyang marga Felle datang dengan membawa tanah liat yang diikat dalam wadah dari pelepah nibung. Ketika bermigrasi, nenek moyang marga Felle tiba pertama di kampung Kayu Batu di wilayah Teluk Humbold, Kota Jayapura.

“Nenek moyang ini tinggal di tempat tersebut untuk beberapa waktu dan selanjutnya melakukan perjalanan ke arah Danau Sentani. Ada sebagian yang terjatuh di wilayah Kayu Batu, hal ini mungkin yang membuat masyarakat yang tinggal di kampung Kayu Batu juga membuat gerabah,” katanya, Sabtu (4/4/2020).

Festival makan papeda di Kampung Abar Sentani. (Liputan6.com/Hari Suroto/Katharina Janur)

Dalam perjalanannya, nenek moyang marge Felle berpindah tempat dari satu kampung ke kampung lainnya, Kampung terakhir yang ditinggali nenek moyang marga Felle adalah Kampung Atamali, hingga akhirnya nenek moyang Felle membuka kampung baru ke arah selatan yaitu Kampung Abar yang hingga kini ditempati keturunannya.

Kerajinan gerabah awalnya dibuat hanya oleh laki-laki di dalam ruang tertutup dan tidak boleh ada orang yang melihatnya. Pembuatan gerabah ini dibuat secara sembunyi-sembunyi dan pembakarannya dilakukan pada saat malam hari karena ada aturan yang harus ditaati, dan jika aturan tersebut dilanggar maka gerabah yang dihasilkan tidak baik yaitu pecah dan hancur.

Seiring perjalanan waktu dan pembauran masyarakat suku-suku di Kampung Abar, kerajinan gerabah beralih dikerjakan oleh kaum perempuan.

“Pembuatan kerajinan ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun tetap mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku. Pembuat kerajinan tersebut tidak lagi hanya dilakukan oleh marga Felle, tetapi oleh semua suku yang ada di Kampung Abar demi kebersamaan dan persekutuan antar suku,” jelasnya.

 


Petuah Dalam Gerabah

Naftali Felle, ketua kelompok perajin gerabah Titian Hidup Kampung Abar yang masih melakukan pembuatan gerabah turun temurun hingga saat ini. (Liputan6.com/Hari Suroto/Katharina Janur)

Dalam aturan adat saat mengambil bahan tanah liat dalam membuat gerabah tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang datang bulan atau dalam keadaan hamil. Ini bertujuan untuk menjaga kemurnian tanah liat.

“Jika ada yang melanggar aturan tersebut maka gerabah yang dihasilkan akan hancur,” kata  Naftali Felle, Ketua kelompok pengrajin gerabah tradisional Titian Hidup Kampung Abar. 

Naftali menyebutkan gerabah merupakan warisan nenek moyang yang harus dilestarikan, baik itu pengetahuan membuatnya maupun penggunaan gerabah itu sendiri.

Sejak dari jaman nenek moyang hingga sekarang walaupun ada pademi covid-19, perajin gerabah di Kampung Abar tetap memproduksi gerabah dan tak ada imbas dari pandemi ini.

Gerabah di Kampung Abar Sentani, Kabupaten Jayapura. (Liputan6.com/Hari Suroto/Katharina Janur)

"Sejak dulu, kami membuat gerabah di rumah masing-masing. Jadi begitu ada himbauan pemerintah agar menerapkan socaial distancing atau pembatasan sosial, warga di kampung Abar sejak dulu telah merepakan hal itu," katanya.

Naftali sangat senang mengajarkan pengetahuan membuat gerabah ke generasi muda. Salah satu sekolah yang melakukan pembelajaran pembuatan gerabah di Kampung Abar adalah siswa dari Hillcrest International School Sentani.

“Dalam gerabah Abar,  terdapat nilai-nilai positif. Pada masa lalu, saat keluarga Sentani makan papeda dengan mengelilingi satu wadah gerabah, biasanya orangtua sambil memberikan nasehat pada anak-anaknya tentang kehidupan,” ujarnya.

Selain itu, makan papeda dalam satu wadah yang sama akan menguatkan ikatan kekeluargaan. Hal ini berubah ketika jaman modern, tradisi makan dalam satu wadah gerabah sudah berkurang, anak-anak muda cenderung makan dalam piring sendiri-sendiri.

Simak video pilihan berikut ini: 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya