Beban Tugas Berat hingga Risiko Perawat di Ruang Isolasi Pasien Corona Covid-19

Tekanan berat juga diterima para perawat di luar ruang isolasi pasien virus corona.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Apr 2020, 06:30 WIB
Petugas medis menyiapkan ruang isolasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Meutia, Aceh Utara, Aceh, Selasa (3/3/2020). RSUD Cut Mutia di Aceh Utara RSU Dr Zainoel Abidin di Banda Aceh merupakan rumah sakit rujukan bagi perawatan pasien terinfeksi virus Corona (Covid 19). (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Di balik hiruk penanganan wabah Corona Covid-19 di Indonesia, ada mereka yang bekerja dalam senyap. Dengan perlindungan diri seadanya, mereka mempertaruhkan keselamatan demi menolong pasien Corona Covid-19.

Mereka adalah petugas medis yang menangani pasien secara langsung di ruang isolasi. Risiko mereka cukup besar, yaitu terpapar virus Corona yang mematikan.

"Tidak semua perawat mau ditempatkan di sini karena risikonya yang tinggi," kata M (47) perawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kota Kediri mengawali perbincangan dengan merdeka.com baru-baru ini.

Sejak wabah Corona melanda Kota Kediri, Jawa Timur, RSUD Gambiran membentuk tim dan sarana perawatan pasien yang terpapar penyakit itu. M salah satunya.

Sebelum wabah terjadi, M bertugas di bagian Pengendalian Pencegahan Infeksi (PPI). M kemudian dipindahkan ke bagian isolasi pasien penyakit menular untuk membantu penanggulangan Corona Covid-19.

Meski banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, dia justru menerima. Sebagai seorang perawat, M mengaku tidak boleh menolak tugas kemanusiaan apapun risikonya. Termasuk kemungkinan terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawat.

Menurut M, tugas yang diemban ini tidak sebanding dengan penderitaan dan ketakutan pasien yang terindikasi Corona.

"Setiap kali dimasukkan ruang isolasi, wajah mereka sangat tegang dan depresi. Bahkan ada yang nyaris bunuh diri karena stres," cerita M.

Di sinilah peran M dan tenaga medis di ruang isolasi dibutuhkan. Setiap hari mereka membangun komunikasi dan membangkitkan semangat pasien untuk sembuh dari virus Corona Covid-19.

 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


APD Tak Memadai

Para tenaga medis yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, membantu proses pengecekan kesehatan puluhan orang TKI asal Sumsel di Wisma Atlet JSC Palembang (Dok. Humas Pemprov Sumsel / Nefri Inge)

Ironisnya, tugas berat tersebut tidak diimbangi dengan pemenuhan alat perlindungan diri (APD) yang mereka pakai.

Padahal setiap saat, M dan teman-temannya berpotensi terpapar virus Corona saat berinteraksi di ruang isolasi.

"Kami terpaksa mengurangi intensitas keluar masuk ruang isolasi karena keterbatasan APD. Di zona merah, APD hanya bisa dipakai sekali dan langsung dibuang," kata M.

Sebagai gantinya, dia membentuk grup WhatsApp atau WA yang terdiri dari petugas ruangan dan pasien. Sehingga, komunikasi bisa dilakukan secara daring tanpa harus masuk ke dalam ruang isolasi.

Selain menghilangkan kebosanan dan menyampaikan motivasi, grup itu juga dipakai untuk melaporkan kebutuhan pasien seperti cairan infus yang habis.

Melalui WA pula para pasien bisa saling berinteraksi dan mengenal satu sama lain dan membangun semangat sembuh bersama-sama.

 


Alami Tekanan

Seorang tukang cukur menyemprotkan cairan pembersih tangan kepada pelanggannya di Chemot Barbershop, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Minggu (5/4/2020). Penggunaan APD buatan sendiri tersebut sebagai antisipasi agar lebih waspada terhadap penularan virus corona Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

TS, perawat berusia 54 tahun yang menjadi rekan M di ruang isolasi memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien Corona.

"Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu," ucap TS.

Dahsyatnya pemberitaan tentang penularan Corona secara langsung turut memojokkan para perawat.

Tidak hanya oleh tetangga di rumah, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi. Mereka tak mau tertular oleh virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan obatnya.

Langkah ekstrem bahkan dilakukan M terhadap keluarganya. Sampai sekarang, M tidak pernah menceritakan tugasnya merawat pasien Corona kepada anak-anaknya. Dia tidak ingin mereka berpikir jauh dan ketakutan atas profesi yang dijalani ibunya.

"Saya juga terpaksa tidur terpisah dengan anak saya agar tidak terpapar. Sejak bertugas di ruangan ini, secara otomatis saya masuk dalam kategori ODR (orang dalam resiko)," kata M.

Untuk menjaga keluarganya, M menerapkan protokol ketat tentang kebersihan. Setelah selesai jam bertugas, dia berganti baju di ruangan khusus sebelum meninggalkan rumah sakit.

Setiba di rumah, M menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas, serta mencuci pakaiannya. Baru setelah itu dia bisa mendekati anak-anaknya tanpa bisa berpelukan.

 


Tetap Bangun Rasa Optimistis

Pintu masuk ke ruang isolasi pasien PDP Covid-19 di rumah sakit rujukan di Sulteng. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Dengan kondisi tersebut, baik M maupun TS harus tetap membangun optimisme pasien di rumah sakit.

Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih.

"Semua pasien harus dalam kondisi baik, nyaman dan bahagia. Karena itu modal awal untuk sembuh," kata TS.

Jika diperlukan, para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien.

Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tidak bisa dilakukan setiap saat. Ini berbeda dengan pasien di ruang perawatan lain yang bebas keluar masuk tanpa membutuhkan perlengkapan khusus.

Karena itu ketika ditanya tentang keinginan terbesar mereka saat ini, M dan TS berharap mendapat bantuan APD agar bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal.

Mereka juga berharap wabah Corona ini segera berakhir dan bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarga.

"Dibutuhkan ketulusan, keikhlasan, dan percaya pada Allah untuk mengemban tugas ini. Kalau Allah tidak menghendaki kami tertular, Insyaallah aman," pungkasnya.

Saat ini, terdapat 12 tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Gambiran. Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja.

 

Reporter : Imam Mubarok

Sumber : Merdeka

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya